OECD: Jika Gelombang Kedua Covid-19 Terjadi, Ekonomi RI Bisa Minus 3,9 Persen
Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memproyeksikan ekonomi RI tumbuh minus 3,9 persen jika terjadi gelombang kedua Covid-19. Pola pemulihannya tak akan membentuk huruf V, tetapi cenderung bergelombang.
Oleh
Karina isna irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia harus bersiap mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi yang lebih dalam apabila gelombang kedua pandemi Covid-19 terjadi. Pertumbuhan ekonomi diproyeksikan bisa mencapai minus 3,9 persen, atau pertama kali sejak krisis keuangan 1997-1998.
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), dalam laporan proyeksi ekonomi edisi Juni 2020, yang dirilis Rabu (10/6/2020) malam, menyajikan dua skenario proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020. Skenario proyeksi pertumbuhan ekonomi dihitung berdasarkan ada atau tidaknya gelombang kedua pandemi Covid-19.
Pada 2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan minus 2,8 persen dengan catatan tekanan ekonomi dari sisi penawaran, permintaan, dan perdagangan hanya terjadi satu kali. Tekanan ekonomi itu dipengaruhi lonjakan kasus pandemi Covid-19 di Indonesia yang terjadi pada pertengahan April 2020.
Kontraksi ekonomi akan lebih dalam apabila gelombang pandemi Covid-19 terjadi dua kali, yaitu pada paruh II-2020. OECD memproyeksikan perekonomian Indonesia tumbuh minus 3,9 persen apabila pandemi Covid-19 untuk kedua kalinya menghantam sisi permintaan, penawaran, dan perdagangan domestik.
”Ketidakpastian masih sangat tinggi karena vaksin belum tentu tersedia tahun ini. Untuk itu, OECD memperingatkan ada dua skenario pertumbuhan ekonomi, yang salah satunya risiko apabila virus belum bisa dikendalikan sehingga terjadi gelombang kedua sebelum akhir tahun 2020,” ujar Sekretaris Jenderal OECD Angel Gurría dalam telekonferensi pers, Rabu malam.
Kontraksi ekonomi akan lebih dalam apabila gelombang pandemi Covid-19 terjadi dua kali, yaitu pada paruh II-2020. OECD memproyeksikan perekonomian Indonesia tumbuh minus 3,9 persen apabila pandemi Covid-19 untuk kedua kalinya.
Risiko gelombang kedua pandemi Covid-19 juga menghantui hampir semua negara di dunia. OECD memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global minus 7,6 persen tahun 2020 apabila gelombang kedua Covid-19 terjadi dan pembatasan wilayah kembali diterapkan oleh berbagai negara. Pertumbuhan ekonomi berangsur pulih pada 2021 menjadi positif 2,8 persen.
Jika gelombang kedua Covid-19 terhidarkan, pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan minus 6 persen tahun ini. Namun, angka pengangguran tetap akan meningkat tajam dari 5,4 persen tahun 2019 menjadi 9,2 persen tahun 2020. Kenaikan angka pengangguran dan kemiskinan harus diwaspadai seluruh negara.
Presiden Joko Widodo, saat meninjau kantor Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, di Jakarta, Rabu (10/6/2020), mengingatkan agar semua pihak mewaspadai gelombang kedua pandemi Covid-19 yang ditandai lonjakan kasus penyakit tersebut. Penyiapan protokol normal baru oleh pemerintah bukan berarti kerja melawan Covid-19 berakhir.
”Tugas besar kita belum berakhir. Ancaman Covid-19 masih ada, kondisi dinamis. Jangan sampai ada gelombang kedua. Jangan sampai ada lonjakan kasus,” katanya saat memberikan sambutan yang disiarkan secara virtual (Kompas, 11 Juni 2020).
Tugas besar kita belum berakhir. Ancaman Covid-19 masih ada, kondisi dinamis. Jangan sampai ada gelombang kedua. Jangan sampai ada lonjakan kasus.
Kasus penularan Covid-19 yang fluktuatif membuat Presiden mengingatkan, pembukaan sejumlah sektor kehidupan dengan menerapkan tatanan normal baru di tiap daerah harus melalui prosedur ketat. Keputusan pembukaan daerah menuju normal baru masyarakat yang produktif dan aman Covid-19 harus dilakukan secara tepat agar tak mengakibatkan kenaikan kasus.
Pemulihan ekonomi
Dalam laporannya bertajuk ”World Economy on a Tightrope”, OECD juga memproyeksikan pola pemulihan ekonomi Indonesia tidak membentuk huruf V, tetapi cenderung bergelombang. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2020 akan terkontraksi cukup dalam sehingga angka pengangguran naik. Pemulihan ekonomi bisa terjadi triwulan III-2020 jika pemerintah bisa meningkatkan daya beli masyatakat.
OECD juga memproyeksikan pola pemulihan ekonomi Indonesia tidak membentuk huruf V, tetapi cenderung bergelombang.
Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia diproyeksikan menyusut pada 2020, kemudian pulih secara moderat sejalan dengan perkembangan global. Dalam skenario ekonomi mengalami tekanan ganda (double hit) akibat gelombang pandemi kedua, suku bunga acuan diperkirakan kembali dipangkas.
Kepala Ekonom OECD Laurence Boone mengatakan, dibutuhkan pembuatan kebijakan yang fleksibel dan gesit untuk menghindari gelombang kedua Covid-19. Pemerintah harus menyediakan jaring pengaman sosial dan dukungan untuk sektor-sektor yang paling parah. Pelaku bisnis dan pekerja juga perlu dibantu untuk beradaptasi pada era normal baru.
”Utang negara yang lebih tinggi tidak dapat dihindari, tetapi pengeluaran yang dibiayai utang harus tepat sasaran untuk mendukung mereka yang paling rentan dan menyediakan investasi yang dibutuhkan untuk transisi ke ekonomi yang lebih tangguh dan berkelanjutan,” kata Boone.
Sebelumnya, awal Juni 2020, Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi belum mempertimbangkan risiko gelombang kedua pandemi Covid-19.
Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi nol persen pada 2020, bahkan minus 3,5 persen dalam skenario buruk. Kedalaman kontraksi ekonomi sangat dipengaruhi kondisi global. Jika pertumbuhan ekonomi global mengalami perbaikan—terutama di China dan negara-negara Eropa—perlambatan pertumbuhan ekonomi domestik akan berkurang.
Sementara itu, IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi kawasan Asia Pasifik menjadi nol persen pada 2020, atau terendah sejak tahun 1960-an. Kontraksi pertumbuhan ekonomi bisa lebih dalam apabila negara-negara kawasan tidak mampu mengendalikan penyebaran virus pada paruh kedua tahun ini.