Pelaku Pariwisata di Lombok Barat Siap Menyambut Normal Baru
Merebaknya Covid-19 membuat industri pariwisata di Lombok Barat, NTB, terpukul. Seluruh aktivitas terkait industri itu terhenti selama pandemi. Saat ini, para pelaku pariwisata di sana siap menyambut normal baru.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·5 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Merebaknya Covid-19 membuat industri pariwisata di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, terpuruk. Seluruh aktivitas terkait industri itu terhenti sehingga memicu perumahan karyawan hingga pemutusan hubungan kerja. Tiga bulan berlalu sejak pandemi, kini para pelaku industri pariwisata di Lombok Barat menyatakan siap menyambut normal baru dan beraktivitas kembali dengan menerapkan standar kesehatan pencegahan Covid-19.
Kepala Dinas Pariwisata Lombok Barat Saiful Ahkam yang dihubungi dari Mataram, Rabu (10/6/2020), mengatakan, para pelaku pariwisata di seluruh wilayah Lombok Barat menyatakan kesiapannya saat mengikuti kegiatan video konferensi, Selasa (9/6/2020). Video konferensi diikuti berbagai pihak, mulai dari pemerintah provinsi, pemerintah daerah, pelaku industri pariwisata, hingga akademisi.
”Secara umum, semua pelaku siap. Mereka meminta tempat wisata dibuka dan menyatakan siap menjalankan protokol pencegahan Covid-19,” kata Ahkam.
Menurut Ahkam, pernyataan itu tidak hanya dari industri hotel, tetapi juga disampaikan restoran, tempat hiburan, dan kegiatan mancakrida (outbound) yang tersebar di seluruh wilayah Lombok Barat. Termasuk di obyek-obyek wisata andalan, seperti Senggigi dan Sekotong.
Ahkam menambahkan, Pemerintah Daerah Lombok Barat siap mengakomodasi keinginan para pelaku industri pariwisata itu. Namun, siap buka dan menjalankan protokol kesehatan, seperti memeriksa suhu tubuh, mencuci tangan, dan menggunakan masker, belum cukup.
Secara umum, semua pelaku siap. Mereka meminta tempat wisata dibuka dan menyatakan siap menjalankan protokol pencegahan Covid-19. (Saiful Ahkam)
Menurut Ahkam, pernyataan para pelaku tidak serta-merta membuat pemerintah daerah akan langsung membuka obyek wisata dan bidang terkait lainnya. Mereka masih membutuhkan waktu untuk mengkaji secara detail kebutuhan setiap bidang. Dari sana, kemudian akan ada protokol masing-masing.
”Tentu akan sangat spesifik. Wisata pantai mungkin lebih ketat pada jaga jarak, tetapi tidak perlu melakukan penyemprotan disinfektan berkali-kali. Berbeda dengan taman. Contoh lain, pertemuan-pertemuan di hotel yang biasanya satu ruangan untuk 100 orang dikurangi 50 persen,” kata Ahkam.
Selain itu, kata Ahkam, kajian secara mendalam diperlukan untuk memastikan protokol itu nantinya tidak memberatkan para pelaku. Misalnya sampai harus membuat mereka mengeluarkan biaya operasional tambahan.
”Kami juga melihat dampaknya. Jangan sampai pembatasan akan membuat masyarakat sekitar obyek wisata tidak mendapatkan manfaat. Jadi, tidak hanya pertimbangan kesehatan, tetapi juga ekonomi,” kata Ahkam.
Supervisi
Menurut Ahkam, saat ini mereka masih menyusun protokol yang dimaksud. Ia menargetkan akan selesai dalam dua hari ke depan. Setelah itu, perwakilan bidang terkait di industri pariwisata akan dipanggil untuk membahasnya bersama.
Para pelaku juga harus bersedia disupervisi untuk memastikan mereka menerapkan protokol tersebut. Jika tidak, akan diminta untuk menghentikan kembali aktivitasnya.
”Tidak hanya pelaksanaan protokol di semua kegiatan mereka, tetapi juga apakah protokol itu dilaksanakan masyarakat di sekitar mereka,” kata Ahkam.
Ahkam menambahkan, kebijakan untuk membuka kembali obyek wisata, bersifat temporer. Artinya, menyesuaikan dengan kondisi. Misalnya, jika muncul kasus baru Covid-19 di lokasi itu atau terjadi peningkatan laju penambahan kasus setelah pembukaan, penghentian aktivitas akan dilakukan lagi.
”Kami tidak ingin sampai ada muncul kelompok penularan baru, yakni kluster wisata. Oleh karena itu, kami berusaha menyusun protokol ini dengan sebaik-baiknya dan mempertimbangkan berbagai sisi,” kata Ahkam.
Ketua Asosiasi Pengelola Hiburan Lombok Barat Herman mengatakan, mereka sudah sangat menunggu dibukanya kembali obyek wisata atau pemberlakuan normal baru pariwisata. Mereka siap menjalankan protokol dari pemerintah.
”Kami siap untuk menghidupkan kembali pariwisata Senggigi khususnya dunia hiburan. Kami juga sudah siap dengan protokol kesehatan. Termasuk prosedur rujukan jika terjadi apa-apa baik ke puskesmas atau rumah sakit rujukan terdekat,” kata Herman.
Pemilik Asmara Cafe Senggigi, Sakinah, juga menyampaikan hal serupa. Menurut dia, protokol pencegahan Covid-19 sudah mereka terapkan, seperti pemeriksaan suhu tubuh, penerapan jaga jarak, menaruh penyanitasi tangan di setiap meja, dan pemakaian masker pada seluruh karyawan.
Sakinah menambahkan, protokol yang akan dibuat pemerintah, harus bisa membuat semua pihak disiplin. Tidak hanya pengelola, tetapi juga masyarakat.
”Sampai sekarang, kami masih melihat masyarakat yang tidak menerapkan protokol. Itu harus diatur juga karena kalau tidak akan membuat kita tidak dipercaya (oleh masyarakat atau wisatawan),” kata Sakinah.
Ketut Jaya dari Holiday Resort Senggigi menambahkan, obyek wisata harus segera dibuka. ”Tentu dibuka dengan protokol yang telah ditetapkan pemerintah. Jika sudah, mungkin di awal perlu ada semacam kegiatan pra-normal baru, seperti bersih-bersih kawasan,” kata Ketut.
Karyawan Dirumahkan
Rencana penerapan normal baru industri pariwisata di Lombok Barat tidak terlepas dari kondisi industri itu saat ini sejak merebaknya Covid-19.
Berdasrakan pantauan Kompas, industri pariwisata di NTB secara umum terpukul, termasuk di Lombok Barat. Kawasan Senggigi yang menjadi salah satu obyek wisata unggulan sepi.
Di sana tidak terlihat lagi wisatawan baik di kawasan pantai atau pedestrian. Tempat-tempat hiburan juga tutup. Hotel juga menghentikan operasional karena tidak ada tamu.
Menurut Ahkam, Lombok Barat memiliki 35 hotel berbintang dan 209 non bintang. Saat ini, tingkat okupansi 0-5 persen. ”Hal itu berimplikasi pada pendapatan dan operasional yang kemudian memicu pengurangan tenaga kerja hingga pemutusan hubungan kerja,” kata Ahkam.
Data sementara, kata Ahkam, ada sekitar 3.300 karyawan yang terdampak secara langsung. Baik itu yang dirumahkan termasuk penyusutan pendapatan karena pengurangan jam kerja. Itu belum termasuk bidang lain seperti jasa perjalanan wisata, tokoh oleh-oleh, dan ekonomi kreatif lainnya.
Menuru Ahkam, mereka sudah mendapatkan bantuan berupa jaring pengaman sosial (JPS) dari kebupaten dan juga bantuan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Kondisi itu juga, kata Ahkam, membuat Lombok Barat kehilangan pendapatan asli daerah (PAD) dari industri pariwisata. Sebelumnya, pariwisata menjadi sumber PAD terbesar Lombok Barat, yakni 45-50 persen dari total Rp 270 miliar.
Menurut ekonom Universitas Mataram, Iwan Harsono, jika terlalu lama ditutup, ekonomi akan lumpuh, termasuk di sektor pariwisata. ”Ekonomi tidak boleh terlalu lama mati. Apalagi Lombok Barat roh ekonominya adalah pariwisata,” kata Iwan.
Menurut Iwan, cepat tidaknya dimulai tergantung bagaimana semua pihak melaksanakan protokol kesehatan. Jika abai, akan ada kemungkinan kegiatan pariwisata dihentikan atau ditutup lagi. ”Jadi, mari kita buka dengan terus memperhatikan protokol kesehatan,” kata Iwan.