Besar-besaran dalam Pembatasan Sosial Berskala Besar
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Bupati Gresik Sambari Halim Radianto, dan Pelaksana Tugas Bupati Sidoarjo Nur Ahmad Syaifuddin sepakat tidak memperpanjang pembatasan sosial berskala besar
Oleh
AMBROSIUS HARTO/IQBAL BASYARI
·5 menit baca
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Bupati Gresik Sambari Halim Radianto, dan Pelaksana Tugas Bupati Sidoarjo Nur Ahmad Syaifuddin sepakat tidak memperpanjang pembatasan sosial berskala besar atau PSBB yang telah berlangsung 42 hari dan berakhir pada Senin (8/6/2020).
Ketiga kepala daerah tingkat dua ini mengutarakan keinginan tidak lagi memperpanjang PSBB kepada Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dalam pertemuan multipihak di Gedung Negara Grahadi yang juga merupakan rumah dinas kepala daerah tingkat satu tersebut di Surabaya, Senin petang. Kawasan metropolitan Surabaya Raya menatap normal baru dalam masa wabah penyakit akibat virus korona jenis baru atau Coronavirus disease 2019 (Covid-19).
Dalam pertemuan, Risma mengatakan, banyak menerima keluhan warga yang merasa “menderita” akibat pemberlakuan PSBB sejak Selasa (28/4). Keluhan memang amat terkait dengan urusan perut atau ekonomi yang sejatinya tulang punggung kehidupan.
“Kami berharap bisa kembali beraktivitas ekonomi tetapi dengan penerapan protokol kesehatan secara ketat,” kata Risma. Aparatur Surabaya berinisiatif menyusun peraturan daerah tentang penerapan protokol kesehatan dalam aktivitas masyarakat. Namun, Risma menyadari, dasar hukum yang menjadi acuan tentang penyusunan pedoman dalam konteks normal baru di masa wabah penyakit ini belum tersedia terutama undang-undang atau peraturan presiden pengganti undang-undang.
“Kami berharap bisa kembali beraktivitas ekonomi tetapi dengan penerapan protokol kesehatan secara ketat,” Tri Rismaharini
Sambari dan Syaifuddin mengutarakan hal senada. Masing-masing akan menerapkan protokol kesehatan yang lebih baik untuk melindungi masyarakat dari ancaman penularan Covid-19. Untuk diketahui, penyakit yang telah menimbulkan pandemi di dunia ini belum ada vaksin atau obatnya. Penyelenggara negara termasuk di daerah berkecenderungan mengambil jalan tengah melalui prinsip “hidup berdampingan” dengan Covid-19 berupa tata cara normal baru (new normal).
Tinggi
Melihat data pada laman resmi http://infocovid19.jatimprov.go.id/ yang dikelola oleh Pemprov Jatim, situasi wabah Covid-19 tidak pernah mereda. Kasus warga positif Covid-19 pertama kali diumumkan pada Selasa (17/3) yang menginfeksi enam warga Surabaya dan dua warga Malang (kota dan kabupaten). Kasus di Jatim muncul hanya 15 hari setelah pengumuman kasus pertama di Indonesia oleh Presiden Joko Widodo pada Senin (2/3) dengan penderita berasal dari Depok, Jawa Barat.
Di Jatim, sampai dengan Senin malam, data memperlihatkan, 5940 warga positif Covid-19 dengan rincian kematian 502 jiwa atau fatalitas 8,4 persen, perawatan untuk 3.876 orang, dan kesembuhan bagi 1.499 orang. Sebanyak 63 orang diyakini positif tetapi masih perlu konfirmasi dari hasil pemeriksaan swab oleh laboratorium resmi yang ditunjuk oleh pemerintah pusat. Dalam 83 hari terakhir ada peningkatan 5.932 kasus atau rerata harian 71 kasus baru. Untuk kematian, rerata harian ada 6 orang meninggal akibat Covid-19 di Jatim.
Data juga memperlihatkan Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik merupakan kawasan paling terpapar wabah. Kondisi ini konsisten untuk Surabaya sejak pengumuman kasus pertama tadi dan diikuti oleh Sidoarjo dua-tiga pekan kemudian.
Gresik secara bertahap berada di posisi ketiga terutama sejak penerapan PSBB. Untuk diketahui, dalam PSBB, tim terpadu di Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik gencar melaksanakan tes cepat untuk publik. Masifnya tes cepat linier dengan potensi munculnya warga yang baru diketahui terjangkit Covid-19.
Tidak mengherankan jika saat ini di Surabaya tercatat 3.124 warga positif dengan rincian kematian 293 jiwa, perawatan untuk 2019 orang, dan kesembuhan 812 jiwa. Di Sidoarjo ada 755 warga positif dengan rincian kematian 66 jiwa, perawatan untuk 633 orang, dan kesembuhan 56 jiwa. Di Gresik tercatat 214 warga positif dengan rincian kematian 20 jiwa, perawatan untuk 162 orang, dan kesembuhan 33 jiwa.
Untuk kabupaten/kota lainnya, patut menjadi perhatian bahwa jumlah kasus warga terjangkit dan kematian terus bertambah dari hari ke hari. Covid-19 telah ditemukan di 38 kabupaten/kota atau seluruh wilayah tingkat dua Jatim yang berpopulasi 40 juta jiwa.
Surabaya masih menjadi episentrum dengan tertinggi dalam jumlah kasus (3.124), pasien dalam pengawasan (3.321), orang dalam pemantauan (3.911), dan orang tanpa gejala (3.593). Untuk orang dengan risiko jumlah tertinggi terdapat di Lamongan (48.599), Bojonegoro (42.445), dan Nganjuk (42.137).
Dalam telekonferensi di Surabaya, Senin, epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono mengatakan, tingginya kasus Covid-19 di suatu daerah (kabupaten/kota atau provinsi) bukan menunjukkan kegagalan dalam menangani wabah.
Banyaknya temuan kasus terutama yang baru perlu dilihat sebagai kesungguhan kinerja pemerintah daerah untuk mencari warganya yang terindikasi atau berpotensi terpapar. Pandu meyakini, penanganan suatu wabah perlu mendapatkan kondisi riil. Dalam situasi saat ini, penelusuran kontak, kemasifan tes, dan keterbukaan data memegang peranan penting.
Dengan demikian, daerah-daerah yang kasusnya rendah bukan berarti berhasil menangani wabah Covid-19. Jangan-jangan di daerah dimaksud belum masif dilaksanakan tes, penelusuran, dan konfirmasi.
“Virus ini tidak mengenal zona. Jika suatu daerah melaksanakan tes dan penelusuran secara masif, akan sangat baik jika diikuti oleh daerah-daerah lainnya,” ujar Pandu yang juga Anggota Komunitas Kawal Covid-19.
Pendapat ini selaras dengan yang berkali-kali diutarakan oleh epidemiolog Universitas Airlangga, Surabaya, Windhu Purnomo yang dalam Satuan Tugas Covid-19 Jatim merupakan Anggota Tim Advokasi PSBB dan Survailans.
“Virus ini tidak mengenal zona. Jika suatu daerah melaksanakan tes dan penelusuran secara masif, akan sangat baik jika diikuti oleh daerah-daerah lainnya,” Pandu Riono
Namun, ada sejumlah catatan penting terutama yang disampaikan oleh kalangan epidemiolog terhadap aparatur dan publik dalam menyikapi wabah Covid-19 di Jatim.
Windhu misalnya menyoroti PSBB Surabaya Raya diperpanjang sampai dua kali salah satunya karena kurang mendapat apresiasi terutama dukungan publik. Kepatuhan masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan dalam masa wabah belum maksimal. Sulit sekali memastikan publik peka terhadap krisis terutama jaga jarak fisik, berpelindung (masker, sarung tangan), karantina di rumah daripada bepergian, jika bepergian terutama untuk kepentingan pengobatan dan membeli bahan pangan, dan menghindari kerumunan.
Pelanggaran
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jatim Komisaris Besar Trunoyudo Wisnu Andiko mengungkapkan, tim terpadu mencatat 21.380 pelanggaran selama PSBB Surabaya sejak 28 April-7 Juni. Itu berarti ada 521 pelanggaran terjadi dalam sehari di wilayah Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik.
Pelanggaran banyak terjadi dalam hal pengendara tidak bermasker. Pelanggaran tidak bermasker di sepeda motor ada 2.256 kasus, di mobil pribadi 1.792 kasus, dan di kendaraan umum 1.134 kasus. Selain itu, khusus untuk sepeda motor, merupakan pelanggaran jika pengendara tidak bersarung tangan dengan catatan 6.455 kasus.
Statistik pelanggaran itu memperlihatkan masih ada masalah besar dalam pelaksanaan PSBB Surabaya Raya. Besar bukan sekadar dalam arti terminologinya melainkan pula pengerahan sumber daya, dana, bahkan ketidakpatuhannya.
Padahal, PSBB merupakan amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal 59 menyebutkan PSBB merupakan bagian dari respon kedaruratan kesehatan masyarakat. Selain itu, bertujuan mencegah meluasnya penyebaran penyakit kedaruratan masyarakat yang sedang terjadi antarorang di suatu wilayah tertentu.
Dan, meski bukan aib, kasus Covid-19 di Jatim terus membesar.