Penyelamatan ekonomi memang penting. Namun, jika risiko terinfeksi Covid-19 juga meningkat, pada akhirnya justru akan semakin memperbesar kerugian ekonomi.
Oleh
Enny Sri Hartati - Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance
·4 menit baca
Memasuki Juni 2020, pemerintah berencana melonggarkan pembatasan sosial berskala besar. Pemerintah mengimbau masyarakat untuk berdamai dengan Covid-19 dan bersiap memasuki kondisi normal baru. Masyarakat dapat kembali beraktivitas dengan harus mengikuti tatanan hidup normal baru. Harapannya, masyarakat dapat kembali produktif, roda ekonomi kembali bergerak, dan tetap aman dari Covid-19.
Secara teori, pemerintah memang bisa mewajibkan seluruh perusahaan dan perkantoran untuk memenuhi prosedur standar operasi atau protokol Covid-19. Namun, dalam situasi kasus baru Covid-19 yang masih meningkat, tentu hal ini menjadi tidak sederhana dan krusial. Apalagi jika masyarakat salah persepsi dan menganggap kondisi sudah kembali normal. Dengan kesadaran masyarakat yang rendah, hal ini bisa menjadi bumerang dan justru memperparah penularan virus korona tipe baru.
Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana, hingga Minggu (31/5/2020), masih terdapat tambahan 700 kasus positif baru sehingga secara keseluruhan mencapai 26.473 kasus positif Covid-19. Adapun jumlah meninggal dunia bertambah 40 orang menjadi 1.613 orang. Artinya, pelonggaran di tengah tren pandemi yang masih menanjak jelas semakin memperlambat penurunan kurva dan justru memperpanjang pandemi Covid-19.
Penyelamatan ekonomi memang penting. Namun, jika risiko terinfeksi Covid-19 juga meningkat, pada akhirnya justru akan semakin memperbesar kerugian ekonomi. Apalagi jika disertai semakin banyak memakan korban jiwa. Sebab, pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) saja tidak efektif, belum berhasil menurunkan penyebaran Covid-19. Pelonggaran PSBB terlalu cepat akan diikuti inefisiensi ekonomi berkepanjangan sekaligus kegagalan percepatan pemutusan penyebaran Covid-19.
Protokol normal baru mewajibkan perusahaan dan perkantoran menerapkan protokol kesehatan untuk menjaga jarak. Konsekuensinya, perkantoran harus menyiapkan ruangan lebih besar untuk menjaga jarak antarkaryawan. Atau, pengusaha harus rela mengatur sif kerja karyawan. Akibatnya, biaya produksi ataupun operasional akan membengkak dan memicu ekonomi berbiaya tinggi. Sementara produktivitas karyawan tentu tidak mungkin optimal.
”More pain no gain”
Tidak dapat dimungkiri, penerapan PSBB sekitar dua bulan terakhir telah berdampak luas pada terhambatnya hampir seluruh aktivitas ekonomi masyarakat, terutama sektor informal yang sebagian besar langsung terhenti. Banyak pekerja kehilangan mata pancarian. Banyak perusahaan yang merugi, bahkan terpaksa menutup usaha, akhirnya banyak pekerja sektor formal dirumahkan dan terkena pemutusan hubungan kerja. Ancaman pengangguran yang meningkat akan mendorong lonjakan angka kemiskinan. Akibatnya, daya beli masyarakat langsung anjlok, terlihat dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga triwulan I-2020 yang hanya 2,84 persen.
Kontraksi ekonomi tersebut tentu tidak hanya menjadi beban masyarakat dan dunia usaha. Pemerintah sudah pasti juga mengalami shortfall atau pemangkasan penerimaan negara. Di sisi lain, pemerintah dituntut meningkatkan anggaran mitigasi Covid-19, mulai dari anggaran perlindungan sosial, kesehatan, hingga pemulihan ekonomi. APBN telah menambah alokasi anggaran jaring pengaman sosial untuk rumah tangga miskin dan rentan miskin, serta yang terdampak Covid-19 sebesar Rp 172,1 triliun. Anggaran pemulihan ekonomi nasional Rp 641,17 triliun. Sementara alokasi anggaran kesehatan, yang menjadi sumber permasalahan, hanya Rp 75 triliun, jauh lebih kecil dibandingkan dengan anggaran untuk pemulihan ekonomi nasional.
Pendek kata, semua elemen bangsa menderita kerugian sangat besar atas Covid-19. Pemerintah terpaksa melebarkan defisit anggaran menjadi Rp 1.028,5 triliun atau 6,27 persen dari produk domestik bruto. Konsekuensinya, pemerintah mengeluarkan surat utang baru Rp 990 triliun, yang di masa mendatang tentu menjadi beban fiskal yang cukup berat. Belum lagi, kebijakan relaksasi dan restrukturisasi kredit, jika tidak hati-hati juga berpotensi memukul sektor keuangan dan perbankan. Apalagi jika ditambah moral hazard. Oleh karena itu, jangan sampai pengorbanan besar tersebut menjadi sia-sia atau no gain. APBN telah menggelontorkan anggaran cukup besar. Jika tidak efektif dan tepat sasaran, ekonomi akan tetap anjlok. Apalagi jika tidak ada manfaatnya untuk mengakhiri penyebaran Covid-19.
Syarat
Protokol dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan syarat sebelum pemerintah menerapkan normal baru, terutama memastikan kemampuan pemerintah mengendalikan penularan Covid-19. Artinya, perlu sistem kesehatan, termasuk kesiapan rumah sakit, untuk bisa mendeteksi, menguji, mengisolasi, dan menangani tiap kasus serta melacak tiap kontak. Sayangnya, persyaratan tersebut rasanya masih sulit dipenuhi Indonesia.
Padahal, perbaikan roda perekonomian hanya akan terjadi jika pandemi Covid-19 telah menurun. Idealnya, kondisi normal baru dilakukan ketika pandemi Covid-19 telah mencapai puncak dan sudah pasti menurun. Oleh karena itu, rencana pembukaan kegiatan ekonomi harus benar-benar dilakukan bertahap dengan menerapkan protokol Covid-19 secara maksimal. Sebagai perbandingan, banyak negara yang melakukan karantina secara ketat, membuka kegiatan ekonomi secara bertahap, tidak langsung secara luas. Apalagi, Indonesia tidak melakukan lockdownatau karantina sebagai standar ideal. Tidak ada pilihan, pelonggaran harus memenuhi standar kesehatan. Pemerintah juga harus menambah alokasi anggaran kesehatan jika tetap memaksakan masuk kondisi normal baru.
Jika persyaratan tersebut tidak dipenuhi, akhirnya masyarakat yang harus mempunyai kesadaran, kesiapan menjaga, dan berjuang melindungi diri sendiri. Masyarakat harus disiplin mengenakan masker, menjaga jarak, menjaga kesehatan, dan tidak berkerumun. Sementara masyarakat yang kepepet karena tidak memiliki pendapatan dan jaminan sosial harus rela menantang risiko terpapar Covid-19 demi mencari nafkah untuk keluarga. Masyarakat mesti berjuang sekaligus melawan pandemi Covid-19. Mereka yang kuat, baik dari sisi imunitas tubuh maupun sumber ekonomi, yang mampu bertahan melawan Covid-19.