Protokol Operasional Berubah Drastis di Tengah Pandemi Covid-19
Dari 140 perusahaan BUMN, hanya 86 persen di antaranya yang siap menerapkan protokol normal baru secara ketat.
Oleh
AGNES THEODORA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Relaksasi pembatasan sosial berskala besar mesti diiringi perubahan drastis terkait protokol operasional di sejumlah sektor, terutama yang berkaitan dengan layanan publik, seperti transportasi. Kementerian BUMN mengkaji perubahan layanan transportasi publik agar tidak berkembang menjadi kluster-kluster penularan baru di tengah pandemi Covid-19.
Menteri BUMN Erick Thohir, dalam telekonferensi, Selasa (26/5/2020), mengatakan, proses transisi ke kehidupan normal baru di tengah pandemi Covid-19 tidak bisa dilakukan dengan cepat dan mudah. Banyak penyesuaian yang harus dilakukan untuk menerapkan relaksasi pembatasan sosial berskala besar tanpa membawa dampak negatif yang memperparah penularan Covid-19.
”Normal baru ini memang butuh waktu, tidak bisa semua langsung terjadi dengan cepat karena ini masalah mengubah kebiasaan masyarakat yang sudah sekian lama,” katanya.
Menurut Erick, transisi menuju kehidupan normal baru ini akan lebih berat dan berlangsung cukup lama sampai vaksin Covid-19 ditemukan. Setidaknya, dalam waktu 4-5 bulan mendatang, masyarakat, perkantoran, dan industri harus terbiasa dengan kondisi normal baru.
Kementerian BUMN mengimbau perusahaan BUMN untuk memanfaatkan penggunaan teknologi dalam menghadapi situasi normal baru. Untuk itu, perlu perubahan operasional di setiap sektor. Salah satu sektor yang menurut Erick perlu perubahan drastis terkait protokol operasionalnya adalah layanan transportasi publik seperti kereta api.
Dalam rapat bersama jajaran direksi PT Kereta Api Indonesia (Persero), pekan lalu, muncul wacana untuk menerapkan layanan pembelian tiket kereta secara terbatas untuk masyarakat yang memiliki kartu anggota. Erick menegaskan, wacana itu baru berupa usulan yang perlu dikaji.
”Saya sempat memancing (dalam rapat PT KAI), apakah naik kereta harus member dan tidak bisa langsung beli. Kenapa? Supaya kita bisa melacak, dari sejak berangkat sampai kembali pulang kerja. Mereka akan datang jam berapa, duduknya di mana, kondisinya bagaimana, supaya ada monitoring dan evaluasi,” kata Erick.
Kalau layanan transportasi publik masih berlaku seperti sekarang dengan sistem membeli tiket di tempat, dikhawatirkan basis data penumpang tidak terekam dengan baik. Akibatnya, pemantauan dan evaluasi terhadap arus serta kondisi kesehatan penumpang sulit dilacak. Padahal, transportasi publik memainkan peranan penting dalam menekan laju penularan virus.
Erick menyadari, gagasan ini bisa menjadi kontroversi karena harus mengubah secara drastis operasional layanan transportasi publik. Namun, hal ini dibutuhkan agar pelonggaran PSBB dan gaya hidup normal baru di tengah pandemi benar-benar diterapkan secara ketat.
Belum siap
Terkait persiapan perusahaan pelat merah dalam memasuki normal baru, Erick mengakui, dari 140 perusahaan BUMN yang ada saat ini, baru 86 persen di antaranya yang siap menerapkan protokol normal baru secara lebih ketat di perkantoran dan pabrik. Setiap perusahaan akan memiliki protokol yang berbeda-beda karena memiliki model bisnis yang berbeda.
”Kami sedang mendorong dan memfasilitasi kesiapan protokol new normal ini bagi perusahaan yang belum siap supaya nantinya tidak bikin blunder di lapangan,” katanya.
Pemerintah, dalam berbagai kesempatan, mengungkapkan rencana dan persiapan menuju normal baru. Implementasi kehidupan normal baru salah satunya diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-10 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi.
KMK itu dikeluarkan untuk menyiapkan dunia usaha dan dunia Kerja menyambut transisi kehidupan normal baru. Pelaku usaha dan industri diminta menyiapkan protokol kesehatan baru yang lebih ketat untuk tetap beroperasi di tengah pandemi. Beberapa hal di antaranya perkantoran wajib menyediakan ruang khusus, bahkan fasilitas karantina/isolasi mandiri untuk mengobservasi pekerja dengan gejala Covid-19.
Perkantoran atau pabrik juga harus melakukan penyemprotan disinfektan setiap 4 jam sekali. Khusus bidang usaha yang berkaitan dengan layanan publik, perlu ada protokol lebih ketat berupa pemasangan pembatas atau tabir kaca bagi pekerja yang melayani pelanggan.
Sekretaris Jenderal Masyarakat Transportasi Indonesia Harya S Dillon mengatakan, pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tidak bisa dilakukan dengan gegabah, khususnya di bidang transportasi publik. Perlu ada strategi relaksasi PSBB secara bertahap dari hulu ke hilir, disertai tes uji massal yang lebih masif di setiap sektor untuk memonitor risiko infeksi virus.
”Kuncinya adalah strategi testing yang agresif. Hanya dengan tes massal kita bisa evaluasi keberhasilan protokol-protokol baru itu,” katanya.
Pelonggaran PSBB tidak bisa dilakukan dengan gegabah.
Harya mengatakan, transportasi publik perlu diprioritaskan dalam wacana pelonggaran PSBB dan kebijakan pemulihan ekonomi nasional. Terobosan drastis dan penerapan protokol kesehatan yang lebih ketat wajib dilakukan untuk menjalankan operasional usaha di tengah normal baru yang penuh risiko. ”Solusi berbasis teknologi aplikasi bisa jadi terobosan yang baik,” katanya. (AGE)