Pelebaran defisit APBN yang cukup signifikan akan menyebabkan perebutan likuiditas antara pemerintah dan swasta. Ini karena tambahan penerbitan surat utang yang dilakukan pemerintah akan menyerap likuiditas di pasar.
Oleh
karina isna irawan/dimas waraditya nugraha
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelebaran defisit anggaran menjadi 6,27 persen produk domestik bruto akan menimbulkan konsekuensi jangka pendek dan jangka panjang. Salah satunya adalah terjadinya perebutan likuiditas antara pemerintah dan swasta.
Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 diperkirakan Rp 1.028,5 triliun atau 6,27 persen produk domestik bruto (PDB). Proyeksi defisit lebih tinggi dari sebelumnya, yakni Rp 852,9 triliun atau 5,07 persen PDB, dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020.
Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menuturkan, pelebaran defisit APBN yang cukup signifikan akan menyebabkan perebutan likuiditas antara pemerintah dan swasta semakin ketat dalam jangka pendek. Hal ini karena tambahan penerbitan surat utang yang dilakukan pemerintah akan menyerap likuiditas di pasar.
”Padahal, sebelum terjadi pandemi Covid-19, perebutan likuiditas antara pemerintah dan swasta sudah cukup ketat akibat lambannya transmisi penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia ke suku bunga kredit,” ujar Yusuf yang dihubungi di Jakarta, Selasa (19/5/2020).
Pelebaran defisit APBN yang cukup signifikan akan menyebabkan perebutan likuiditas antara pemerintah dan swasta. Ini karena tambahan penerbitan surat utang yang dilakukan pemerintah akan menyerap likuiditas di pasar.
Sebagian besar pembiayaan defisit APBN bersumber dari tambahan penerbitan surat berharga negara (SBN). Pembiayaan defisit APBN sebesar Rp 1.028,5 ini belum termasuk pembiayaan investasi, seperti program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dari pandemi Rp 153,5 triliun dan pembiayaan utang jatuh tempo Rp 433,4 triliun.
Menurut Yusuf, besarnya kebutuhan likuiditas pemerintah akan menyebabkan swasta kesulitan mencari sumber pembiayaan murah di dalam negeri. Jika ingin melakukan ekspansi, swasta harus menanggung biaya pinjaman atau cost of fund lebih tinggi agar investor tertarik memberi pinjaman atau membeli surat utangnya.
Di sisi lain, pelebaran defisit APBN juga menimbulkan konsekuensi jangka panjang yang bervariasi, salah satunya kenaikan nominal utang pemerintah. Struktur kepemilikan asing dalam SBN Indonesia relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara kawasan Asia Tenggara (ASEAN), yaitu sekitar 30 persen. Kondisi ini menyebabkan fundamen ekonomi domestik rentan arus modal asing ke luar.
”Tingginya porsi kepemilikan asing dalam SBN menjadikan nilai tukar rupiah rentan mengalami perlemahan lebih dalam dibandingkan dengan mata uang lain,” tuturnya.
Anggota Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, menuturkan, proyeksi defisit melebar lagi dari rencana awal karena pemerintah belum membuat perkiraan yang detail terkait program PEN. Padahal, perkiraan biaya krisis atau biaya penyelamatan ekonomi menjadi acuan utama dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020.
Perppu tersebut mengatur tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
”Perubahan proyeksi defisit anggaran membuktikan Kementerian Keuangan gagal melakukan prediksi yang akurat tentang indikator-indikator ekonomi yang penting,” kata Misbakhun.
Pemerintah jangan memberi ketidakpastian yang berkesinambungan dalam ekonomi. Dengan dukungan dari DPR saat ini, sebenarnya pemerintah tidak perlu terlalu khawatir menjalankan skenario terburuk di sektor ekonomi. Perubahan postur APBN 2020 sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah.
Disiplin fiskal
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengemukakan, pelebaran defisit ke level 6 persen PDB yang pertama kali sejak Undang-Undang tentang Keuangan Negara ditetapkan pada 2003. Selama ini defisit APBN dijaga di bawah 3 persen PDB. Namun, kondisi saat ini tidak normal sehingga defisit harus meningkat.
Revisi proyeksi defisit APBN mempertimbangkan kondisi terkini, terutama kinerja perekonomian pada triwulan I-2020 yang relatif rendah. Perubahan proyeksi defisit dan postur APBN diperlukan untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional, baik di sisi konsumsi maupun bantuan untuk dunia usaha.
”Defisit akan diturunkan secara gradual. Kalau defisit dari tinggi langsung diturunkan ke rendah, akan memengaruhi kemampuan belanja dan perekonomian,” kata Suahasil.
Ketentuan pelebaran defisit, lanjut Suahasil, tetap mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020. Defisit APBN akan kembali ke level 3 persen PDB pada 2023. Pemerintah akan menurunkan defisit APBN secara bertahap dari tahun ke tahun dengan menjaga disiplin fiskal. Peningkatan pembiayaan juga akan dikelola hati-hati agar tidak membebani APBN.
Menanggapi hal tersebut, Yusuf mengatakan, upaya mengembalikan disiplin fiskal menjadi 3 persen PDB sangat bergantung pada proses pemulihan ekonomi dalam dua tahun mendatang. Salah satu sektor industri yang mesti digenjot adalah manufaktur karena kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi paling tinggi.
”Jika program revitalisasi industri dapat dijalankan pemerintah secara konsisten, ada potensi ekonomi pulih secara bertahap,” ujarnya.
Yusuf menambahkan, efek berganda pemulihan ekonomi akan berkorelasi positif dengan pendapatan negara, terutama penerimaan pajak. Penerimaan akan meningkat secara bertahap sehingga defisit APBN semakin menyempit. Revitalisasi sektor manufaktur dinilai krusial karena kontribusi terhadap penerimaan pajak sebesar 27 persen.
Efek berganda pemulihan ekonomi akan berkorelasi positif dengan pendapatan negara, terutama penerimaan pajak.
Suntikan likuiditas
Dalam rangka menopang program PEN, BI menyatakan mampu menyuntik likuiditas bank yang menggadaikan SBN hingga Rp 563,6 triliun. Untuk itu, BI mendorong perbankan melakukan transaksi repo atau menggadaikan SBN yang mereka miliki kepada bank sentral untuk mendapat tambahan likuiditas.
Gubernur BI Perry Warjiyo menilai, kepemilikan SBN di industri perbankan masih memadai kebutuhan likuiditas dalam rangka menopang program PEN. Namun, saat ini perbankan masih minim memanfaatkan fasilitas term repo untuk memenuhi kebutuhan likuiditas. Transaksi term repo perbankan sepanjang periode pandemi Covid-19 ini hanya Rp 43,9 triliun.
”Angka ini terhitung kecil jika dibandingkan dengan data BI per Mei yang mencatat kepemilikan SBN di perbankan Rp 886 triliun. Dari total kepemilikan ini, potensi maksimal dari likuiditas hasil term repo BI yang bisa disuntikkan ke perbankan sebanyak Rp 563,6 triliun,” kata Perry.
Menurut Perry, nilai potensial tersebut merupakan hasil dari pengurangan nilai total kepemilikan SBN perbankan dengan kewajiban penyangga likuiditas sebesar Rp 330,2 triliun. Sesuai dengan kebijakan cadangan sekunder (secondary reserve) perbankan di BI, besaran penyangga likuiditas makroprudensial (LPM) diatur maksimal 6 persen persen dari dana pihak ketiga (DPK).
”Dalam kondisi seperti saat ini, bank sentral akan berupaya mendukung pertumbuhan ekonomi. Langkah yang paling efektif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi adalah menyediakan likuiditas,” ujarnya.
Pelonggaran kuantitatif, lanjut Perry, dilakukan BI melalui injeksi likuiditas ke perbankan dalam jumlah besar sepanjang periode Januari-April 2020 melalui pembelian SBN dari pasar sekunder. Ia mengklaim, sejak BI merilis program pelonggaran kuantitatif likuiditas perbankan bertambah Rp 166,2 triliun.