PSBB Bolong
PSBB yang sudah longgar memang semakin longgar, bahkan bolong. Di tengah kasus positif Covid-19 yang makin bertambah dan belum optimalnya tes cepat dan tes usap, akankah pelonggaran-pelonggaran terus dilakukan?
Sudah longgar justru semakin longgar. Bolong. Itulah yang terjadi dalam penerapan kebijakan pembatasan sosial berskala besar dalam rangka memutus rantai pandemi Covid-19.
Kebijakan kompromistis yang memberi ruang terhadap sektor kesehatan dan ekonomi ini kurang berjalan baik. Ada keraguan-raguan dan ketidaktegasan dalam penerapannya. Padahal, jumlah kasus positif Covid-19 terus bertambah di tengah belum optimalnya tes cepat, tes usap, dan pelacakan kasus per kasus positif.
Kementerian Kesehatan melaporkan, per 11 Mei 2020, terdapat 14.265 kasus Covid-19 di Indonesia dan ada tambahan 233 kasus positif Covid-19. Dua hari sebelumnya, ada 533 kasus positif Covid-19.
Keragu-raguan itu ditunjukkan oleh ketidakkonsistenan penerapan regulasi yang mudah direvisi atau diperlonggar dengan aturan-aturan turunan. Di sisi lain, ada yang sebenarnya perlu diatur secara tegas, malah justru hanya dilakukan melalui imbauan. Mari kita kupas satu per satu.
Pertama, regulasi yang tidak konsisten dan diperlonggar terjadi di sektor transportasi. Awalnya, pemerintah sudah tegas mengatur pengendalian transportasi itu dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19 dan Permenhub No 25/2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Musim Mudik Idul Fitri 1441 H dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19.
Larangan mudik dan melakukan perjalanan sudah jelas disebutkan di regulasi itu. Lama larangan telah ditegaskan sendiri oleh pemerintah, yaitu mulai 24 April hingga 31 Mei 2020. Larangan itu bisa ditinjau kembali dengan mempertimbangkan kondisi penyebaran pandemi.
Kemudian, pada 6 Mei 2020, muncul Surat Edaran (SE) No 4/2020 tentang Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Isinya adalah memberikan pengecualian perjalanan bagi setiap warga dan lembaga pemerintah atau swasta yang memiliki kebutuhan khusus dan kepentingan mendesak.
Bagi yang kerabatnya meninggal dunia atau butuh pengobatan khusus di luar daerah, serta untuk kepentingan khusus, seperti repatriasi dan penanganan kasus Covid-19, SE masih bisa dimaklumi. Namun, perlu dicermati juga potensi munculnya perizinan bagi pergerakan kelompok orang yang membawa ”misi khusus”, apalagi di tahun pemilihan kepala daerah serentak. Misalnya, penyerahan bantuan sosial ke suatu daerah tertentu secara berombongan. Bisa juga kunjungan pejabat tertentu ke suatu daerah dengan membawa rombongan besar.
Baca juga: Tindak Tanduk
Satu hingga empat hari setelah SE itu muncul, penerbangan yang melayani penumpang yang semula dibatasi ketat diperlonggar. Garuda Indonesia menyatakan akan mulai mengangkut penumpang pada 7 Mei 2020 dan Lion Air pada 10 Mei.
Tak lama kemudian, di tengah maraknya jasa angkutan gelap, pengelola angkutan umum darat mulai menyiapkan armadanya di terminal-terminal. Lalu lintas Ibu Kota mendadak makin ramai dan mulai terjadi kemacetan di sejumlah titik. Stasiun-stasiun kereta rel listrik mulai dipadati penumpang.
Baca juga: Warga yang Patuh PSBB Khawatir dengan Mulai Kembali Banyaknya Kerumunan di Jakarta
Sejak 26 Maret-10 Mei 2020 sudah 800.000 orang masuk ke Jawa Tengah. Sebanyak 200.000 orang tidak menggunakan angkutan umum.
Akademisi Program Studi Teknik Sipil Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, dan Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia Pusat Djoko Setijowarno menuturkan, sejak 26 Maret-10 Mei 2020, sudah 800.000 orang masuk ke Jawa Tengah.
”Sebanyak 200.000 orang tidak menggunakan angkutan umum. Mudah-mudahan tidak ada penularan dan penyebaran Covid-19,” ujarnya.
Ketua Komisi V DPR Lasarus mengatakan, belakangan ini ada kegalauan di masyarakat terkait kebijakan pengoperasian kembali angkutan umum. Banyak pihak, termasuk sejumlah kepala daerah, mempertanyakan kebijakan pelonggaran ini ke DPR.
”Bagaimana ini, pemerintah, kok, memberlakukan kembali angkutan umum, bahkan untuk daerah yang masih berstatus melaksanakan PSBB,” katanya.
Ada kegalauan di masyarakat terkait kebijakan pengoperasian kembali angkutan umum. Banyak pihak, termasuk sejumlah kepala daerah, mempertanyakan kebijakan pelonggaran ini ke DPR.
Lazarus menambahkan, pemerintah harus bisa membuktikan bahwa dengan pelonggaran kebijakan ini tidak akan ada celah bagi penyebaran Covid-19 dibandingkan dengan ketika semua angkutan umum ini dihentikan. Protokol kesehatan terkait Covid-19 harus dilaksanakan dengan baik.
Baca juga: Hati-hati Longgarkan PSBB
Sekretaris Jenderal Kementerian Perhubungan Djoko Sasono mengatakan, komandan dari pengendalian penyebaran Covid-19 adalah Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. ”Jadi, yang kami angkut adalah yang sudah diperiksa tim gabungan gugus tugas. Dengan demikian, yang kami angkut adalah mereka yang memang memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan SE Gugus Tugas,” ujarnya.
Pasar tradisional
Tak hanya sektor transportasi, sektor ekonomi kerakyatan, yaitu pasar tradisonal, juga sangat longgar dalam melakukan pembatasan fisik dan sosial. Di daerah-daerah yang sudah menerapkan PSBB saja longgar, apalagi di daerah-daerah yang belum menerapkan PSBB.
Ujung-ujungnya, pasar tradisonal menjadi kluster penularan penyakit yang disebabkan virus korona baru. Beberapa pasar di daerah Sumatera Barat, Jawa Timur, Bali, dan Jawa Tengah menjadi titik penularan Covid-19. Pasar Raya di Padang, Sumatera Barat, sempat ditutup lima hari oleh pemerintah setempat pada pertengahan April. Sementara awal Mei ini, sejumlah pasar di Surabaya, Jatim, juga ditutup pemerintah karena seorang pedagang meninggal setelah positif tertular Covid-19.
Berdasarkan data sementara Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) per 11 Mei 2020, tercatat sudah ada 165 orang positif Covid-19 dan 11 orang yang meninggal akibat Covid-19. Kasus itu tersebar di 22 pasar yang terletak di Sumatera Barat, Jawa Timur, Bali, dan Jawa Tengah.
Inilah poin kedua dari persoalan di awal tadi. Sektor yang berpotensi besar menjadi kluster penularan hanya dikendalikan dengan imbauan. Padahal, pasar, sebagai medan perjumpaan banyak orang, butuh aturan protokol kesehatan yang lebih tegas ketimbang sekadar imbauan. Sektor transportasi saja diatur sedemikian rupa, lalu kenapa pasar tradisonal atau pasar rakyat tidak?
Pasar, sebagai medan perjumpaan banyak orang, butuh aturan protokol kesehatan yang lebih tegas ketimbang sekadar imbauan. Sektor transportasi saja diatur sedemikian rupa, lalu kenapa pasar tradisonal atau pasar rakyat tidak?
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan telah meminta agar pasar tradisonal tetap beroperasi. Langkah ini perlu disertai dengan pengawasan yang lebih ketat dan perlu membuat acuan petunjuk pelaksanaan atau teknis untuk dipatuhi setiap pengelola, pedagang, dan pembeli di pasar.
Namun, Kementerian Perdagangan yang sebenarnya mengampu pembinaan dan pengembangan pasar tradisonal ini menyerahkan pengawasan pasar-pasar selama pandemi Covid-19 ke pemerintah daerah (pemda).
Baca juga: Kementerian Perdagangan Sebut Pengawasan Pasar Tanggung Jawab Daerah
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Suhanto mengemukakan, pengawasan protokol kesehatan di pasar-pasar rakyat menjadi ranah kewenangan masing-masing pemda. Kementerian Perdagangan telah memberikan imbauan melalui surat nomor 554/PDN.3/SD/3/2020 kepada bupati dan wali kota untuk mengelola pasar rakyat dengan protokol pencegahan Covid-19.
Beberapa protokol standar harus diikuti, seperti menjaga kebersihan lingkungan pasar, menjaga kesehatan pedagang dan pembeli, mencuci tangan secara teratur, dan selalu menggunakan masker.
”Seiring dengan perkembangan kasus positif Covid-19 yang banyak ditemukan di pasar-pasar tradisional, kami telah meminta kepada Asosiasi Pedagang Pasar Indonesia untuk mengimbau anggotanya menerapkan protokol pengendalian Covid-19,” katanya.
Ketua Umum Ikappi Abdullah Mansuri mengatakan, potensi penyebaran Covid-19 di pasar tradisional lebih besar dibandingkan dengan di gerai-gerai ritel supermarket dan hipermarket. Interaksi berdagang berbeda karena jarak antara pembeli dan pedagang ataupun antarpembeli di pasar tradisional lebih dekat.
”Ada juga interaksi tawar-menawar antara pedagang dan pembeli. Ini yang membuat potensi penyebaran itu sangat tinggi,” ujarnya.
Menurut Abdullah, kesadaran menerapkan protokol kesehatan di pasar-pasar cenderung masih rendah. Oleh karena itu, perlu ada pengawasan yang lebih ketat dari pemerintah daerah terkait operasional pasar-pasar tradisional.
”Hal tersebut salah satunya membuat acuan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis untuk dipatuhi pengelola pasar karena sejauh ini aturan protokol kesehatan masih berupa imbauan,” ujarnya menegaskan.
Dari uraian persoalan di dua sektor tersebut, PSBB yang sudah longgar memang semakin longgar, bahkan bolong. Di tengah kasus positif Covid-19 yang makin bertambah dan belum optimalnya tes cepat dan tes usab, akankah pelonggaran-pelonggaran akan terus dilakukan? Ekonomi tidak akan pulih cepat jika mata rantai penularan Covid-19 belum terputus.
Menarik mengutip kembali pernyataan Sekretaris Jenderal Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Harya Setyaka Dillon, ”Virus itu enggak pilih-pilih. Virus itu enggak ngerti ekonomi, enggak ngerti mendesak atau tidak mendesak, enggak ngerti beda mudik atau pulang kampung” (Kompas, 1/5/2020).
Baca juga: Akankah Muncul Dispensasi dalam Regulasi Turunan Larangan Mudik?