Pembahasan revisi UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara berlanjut di tengah pandemi Covid-19. Masukan agar pembahasan ditunda tak didengar. Penanganan pandemi sebaiknya diprioritaskan.
Oleh
Aris Prasetyo
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perwakilan Fraksi Partai Demokrat Komisi VII DPR meminta agar kajian harga bahan bakar minyak dan jaminan ketersediaan elpiji di masyarakat diprioritaskan di tengah pandemi Covid-19. Masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19 harus diutamakan untuk menjamin kecukupan kebutuhan pokok mereka.
Permintaan itu disampaikan dalam pembicaraan tingkat pertama revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Namun, mayoritas fraksi setuju untuk melanjutkan pembahasan revisi ke tahapan berikutnya.
Anggota Komisi VII DPR dari Partai Demokrat, Sartono Hutomo, mengatakan, pemerintah dan anggota Dewan sebaiknya memprioritaskan kajian harga BBM dan jaminan pasokan elpiji ketimbang melanjutkan pembahasan revisi UU No 4/2009. Ia juga menyinyalir akan ada tumpang tindih dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja kluster energi dan sumber daya mineral.
Prioritaskan penanganan pandemi, mengkaji harga BBM, menjamin ketersediaan elpiji, dan memberikan insentif tarif listrik.
”Kami mengusulkan agar menunda terlebih dahulu hingga pandemi Covid-19 berakhir. Prioritaskan penanganan pandemi, mengkaji harga BBM, menjamin ketersediaan elpiji, dan memberikan insentif tarif listrik,” ujar Sartono saat menyampaikan pandangan fraksi pada pertemuan tingkat pertama pembahasan revisi UU No 4/2009, Senin (11/5/2020), di Komisi VII DPR.
Sartono menambahkan, pihaknya mendesak agar pembahasan revisi UU tersebut dilakukan lebih matang sembari mendengarkan masukan publik. Apalagi, kata dia, ada potensi tumpang tindih dengan RUU Cipta Kerja yang juga membahas UU No 4/2009. Keduanya sama-sama membahas usaha pertambangan mineral dan batubara.
”Oleh karena itu, berdasarkan catatan tersebut, fraksi kami menolak pembahasan revisi UU No 4/2009 diteruskan di tahapan lanjut,” ucap Sartono.
Fraksi Partai Demokrat menjadi satu-satunya fraksi yang menolak pembahasan revisi UU No 4/2009 diteruskan ketahap lanjut. Delapan fraksi lain, yaitu Fraksi PDI-P, Golkar, Gerindra, Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan menyatakan setuju. Sebagian fraksi menyampaikan persetujuan dengan catatan.
Sementara itu, Abdul Wahid dari Partai Kebangkitan Bangsa menyampaikan pendapat fraksi dengan catatan. Pihaknya menyoroti penghapusan Pasal 165 UU No 4/2009 tentang pemidanaan bagi orang yang menerbitkan izin tambang yang bertentangan dengan UU dan menyalahgunakan wewenang. Sanksi pidana dalam pasal itu adalah penjara paling lama dua tahun dan denda uang paling banyak Rp 200 juta.
”Kami setuju dengan catatan, yaitu mengembalikan Pasal 165 agar tidak dihapus,” kata Abdul Wahid.
Setelah berlangsung 7,5 jam, rapat memutuskan untuk melanjutkan pembahasan revisi UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ke tahapan selanjutnya. Dalam rapat tersebut dihadiri Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif dan pejabat setingkat eselon I.
Sekitar 90 persen isi dan komposisi revisi UU tersebut hanya mengakomodasi kepentingan pengusaha.
Sebelumnya, koalisi masyarakat sipil dan pemerhati pertambangan mendesak pemerintah dan DPR tidak tergesa-gesa melanjutkan pembahasan revisi UU No 4/2009. Pasalnya, Indonesia saat ini dilanda pandemi Covid-19 yang membutuhkan perhatian khusus untuk pencegahan dan penanganannya. Mereka mencurigai ada unsur kesengajaan membahas revisi UU di tengah pandemi Covid-19.
”Sekitar 90 persen isi dan komposisi revisi UU tersebut hanya mengakomodasi kepentingan pengusaha. Hal itu terlihat dari penghapusan dan penambahan pasal yang berkaitan dengan kewenangan dan pengusahaan perizinan. Namun, tidak ada yang mengakomodasi kepentingan rakyat di sekitar wilayah tambang dan hak-hak adat,” ucap Aryanto Nugroho dari Publish What You Pay Indonesia.