”Urban farming” jadi salah satu pilihan anak muda perkotaan mengisi waktu di tengah pandemi Covid-19. Selain menikmati sensasi panen sayur dari pot sendiri, hobi baru ini menjadi sarana untuk menenangkan diri.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
Imbauan pembatasan fisik membuat bercocok tanam ala perkotaan alias urban farming menjadi pilihan aktivitas anak muda selama berada di tempat tinggal, bahkan di kos-kosan. Tak hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan mengisi waktu luang, kegiatan itu menjadi sarana berempati dengan petani yang menjadi ujung tombak pemenuhan pangan nasional.
Bekerja dari tempat tinggal membuat Nindya Ayu W (26), karyawan yang berada di Bogor, membuat ritme kerjanya lebih fleksibel. Alhasil, dia dapat menanam bawang merah, bawang putih, cabai, bayam, dan kale di kosannya.
Karena memanfaatkan wadah yang ada, seperti botol bekas dan gelas kemasan tak terpakai, Nindya hanya mengeluarkan ongkos Rp 70.000 untuk membeli media tanam, pupuk, dan polybag. Dia pun ”berguru” pada kanal Youtube bernama Summer Rayne Oakes dan Planterina untuk mempraktikkan bertani dari hunian tempat tinggal.
Dengan metode yang mirip, Fakhri Nasution (23) yang tinggal di Jakarta Timur berselancar di mesin pencarian dunia maya. Dia mengetikkan kata kunci ”hydroponics” dan ”indoor farming”. Karena memanfaatkan salah satu ruang di dalam rumahnya untuk bertani, dia membutuhkan alat bernama growlight. Secara menyeluruh, modal yang dia gunakan berkisar Rp 100.000-200.000.
Fakhri sudah merasakan nikmatnya masakan selada dan pakcoy yang dia panen dari kegiatan bertaninya. ”Berdasarkan literatur yang saya baca, bahan kimia sintetis (pada tanaman) tidak bisa dicerna oleh tubuh. Oleh sebab itu, saya menanam sendiri bahan-bahan pangan agar keluarga dapat mengonsumsi makanan yang lebih sehat,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (5/5/2020).
Bagi Hanna Almira (23) yang tinggal di Bandung, bercocok tanam dari rumah menjadi sarana menenangkan diri selama masa pembatasan sosial berskala besar. Sebagai bonus, dia dapat menghemat pengeluaran.
Bercocok tanam dari rumah menjadi sarana menenangkan diri.
Hanna memanfaatkan barang-barang bekas untuk bertani dari tempat tinggal, seperti botol air mineral, mangkuk kemasan makanan cepat saji, bahkan wadah untuk telur. Saat ini, dia tengah merawat tanaman daun bawang, seledri, pakcoy, alpukat, stroberi, dan lemon yang sedang tumbuh.
Wahyu Andito (38), yang menyebut diri petani kota dari Jakarta Timur, menilai, bertani di tempat tinggal merupakan salah satu keterampilan dalam menghasilkan makanan. ”Semakin dekat sumber bahan pangan yang akan kita olah, semakin baik kualitasnya,” ujarnya.
Berbeda dengan yang lain, Andito telah bergelut sebagai petani kota sejak lima tahun lalu. Oleh sebab itu, dia menilai, kegiatan bercocok tanam dapat dilakukan di skala rumah tangga, baik di rumah maupun apartemen, bahkan kos-kosan.
Mencicip peluh
Aktivitas menanam di tempat tinggal membuat Nindya, Fakhri, dan Hanna dapat mencicipi secuplik pengalaman petani yang memproduksi pangan untuk masyarakat Indonesia. Mereka merawat setiap tanamannya hingga merasakan gagal panen.
Menurut Nindya, menanam itu sulit dan proses tumbuh-kembangnya memakan waktu lama, apalagi kalau gagal panen dan petani merugi. Sebagai konsumen, dia pun bertanya-tanya apakah dirinya telah membeli bahan pangan dengan harga yang pantas dan setimpal dengan jerih payah petani tersebut dan apakah harga itu dapat mengeluarkan petani dari jerat kemiskinan.
Senada dengan Nindya, Fakhri juga menilai, harga bahan pangan di pasaran tergolong sangat murah jika dibandingkan dengan kerja keras petani. ”Bertani dari rumah membuat saya sadar, menyiapkan bahan masakan yang kita konsumsi setiap hari membutuhkan effort yang besar,” katanya.
Aktivitas bercocok tanam dari rumah membuat Hanna semakin merasa salut kepada petani dan pekebun. Dia menilai, para produsen pangan tersebut begitu sabar dan telaten dalam menjaga kualitas tanamannya.
Hanna menceritakan, tanamannya ada yang mati dan dia langsung merasa sedih. ”Tak terbayang bagaimana kesedihan yang dirasakan petani dan pekebun yang mengalami gagal panen,” katanya.
Head of Landscape Management Laboratory IPB University Hadi Susilo Arifin menilai, kegiatan bertani di kota tengah menjadi tren yang melejit. Aktivitas ini membuat masyarakat dapat bercocok tanam dengan tanah, lahan, dan ruang yang minimalis dan cenderung terbatas.
Di tengah pandemi Covid-19 ini, Hadi menyarankan, masyarakat menanam jenis tanaman yang dapat tumbuh dalam waktu 2-5 pekan. Misalnya, kangkung, bayam, daun bawang, dan cabai.
Kegiatan bertani di kota tengah menjadi tren yang melejit.
Modal untuk bertani dari tempat tinggal pun, menurut Hadi, dapat menyesuaikan kantong masing-masing individu masyarakat Indonesia. ”Cara belajarnya juga dapat melalui video-video yang ada di Youtube,” katanya.
Andito menceritakan, dia telah membagikan pengalamannya sebagai petani kota melalui kanal Youtube bernama Rumah Hijau Net, sesuai komunitas urban farming yang dia dirikan. Bagi petani kota yang baru mulai, dia menyatakan, konsistensi dan terus mencoba meski gagal menjadi kunci dalam bertani di tempat tinggal.
Kegiatan bertani di kota pun sejalan dengan salah satu anjuran Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) untuk mengatasi potensi krisis pangan di tingkat dunia akibat disrupsi pada rantai pasok yang disebabkan oleh pandemi Covid-19.
Dalam dokumen Anticipating The Impacts of Covid-19 in Humanitarian and Food Crisis Contexts, FAO menyarankan, pemerintah mendukung produksi pangan di tempat tinggal sebagai salah satu langkah untuk meningkatkan ketersediaan bahan pangan secara lokal dan menghindari disrupsi pada rantai pasok.
Bertani dari tempat tinggal memunculkan solidaritas dan empati pada petani sebagai aktor utama ketahanan pangan nasional. Mungkin, pemerintah secara individu dapat bercocok tanam dari rumah masing-masing agar dapat berempati dan bersolidaritas dalam merumuskan kebijakan pangan di tengah pandemi Covid-19, utamanya yang menyangkut dengan kesejahteraan petani.