Penerimaan pajak yang tidak mencapai target diperkirakan membesar pada tahun ini. Tekanan lebih besar seiring pertumbuhan ekonomi yang kian lambat.
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tekanan penerimaan pajak pada tahun ini lebih besar dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Potensi penerimaan pajak yang tidak mencapai target diperkirakan Rp 388,5 triliun atau tertinggi setidaknya dalam 10 tahun terakhir.
Berdasarkan proyeksi terbaru Kementerian Keuangan, pendapatan negara akan menurun 10 persen atau Rp 472,3 triliun. Realisasi pendapatan negara 2020 diperkirakan Rp 1.760,9 triliun atau 78,9 persen dari target APBN 2020 yang sebesar Rp 2.233,2 triliun.
Kontraksi terjadi di semua sumber pendapatan. Penerimaan pajak diproyeksikan Rp 1.254,1 triliun atau tumbuh negatif 5,9 persen daripada tahun 2019. Proyeksi penerimaan bea cukai Rp 208,5 triliun atau tumbuh negatif 2,2 persen dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 297,8 triliun atau tumbuh negatif 26,9 persen.
Penerimaan pajak yang tidak mencapai target (shortfall) meningkat dari tahun ke tahun. Shortfall yang pada 2010 sebesar Rp 34 triliun naik menjadi Rp 108 triliun pada 2018 dan Rp 245,5 triliun pada 2019.
Peneliti Danny Darussalam Tax Center, B Bawono Kristiaji, Minggu (3/5/2020), mengatakan, penerimaan pajak tahun ini tertekan secara eksternal dan internal. Penurunan harga minyak dunia dan harga komoditas membuat kinerja perusahaan di bidang itu merosot, yang berimbas pada setoran Pajak Penghasilan (PPh migas).
Tekanan eksternal bersumber dari rantai perdagangan internasional yang terganggu sehingga setoran pajak dalam rangka impor menurun, terutama Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor. Realisasi PPN impor per Maret 2020 mulai melemah, yaitu tumbuh negatif 8,72 persen.
”Di dalam negeri, penerimaan PPh badan dari hampir semua sektor akan lesu seiring perlambatan pertumbuhan ekonomi, penerapan pembatasan sosial, dan pasokan yang terganggu,” ujar Bawono.
Berkaca dari sejarah, krisis ekonomi kerap kali menurunkan rasio pajak hingga 1,5 persen produk domestik bruto (PDB) di setiap negara. Di banyak negara, jenis pajak yang paling stabil terhadap guncangan krisis adalah PPN dan Pajak Konsumsi sehingga dijadikan penopang penerimaan dalam jangka pendek.
Menurut Bawono, penerimaan PPN relatif paling stabil di tengah krisis karena terjaga sepanjang tidak terjadi guncangan pasokan dan harga. Oleh karena itu, pemerintah mesti menjaga distribusi dan pasokan barang, terutama ke daerah-daerah zona merah Covid-19. PPN bisa menambal potensi penerimaan yang hilang akibat pemberian insentif.
Penerimaan PPN relatif paling stabil di tengah krisis karena terjaga sepanjang tidak terjadi guncangan pasokan dan harga.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, shortfall pajak dihitung berdasarkan basis proyeksi perlambatan pertumbuhan ekonomi menjadi 2,3 persen pada tahun ini. Perlambatan pertumbuhan ekonomi akan menggerus rasio pajak dalam arti luas menjadi 9,14 persen, dari sekitar 10 persen pada 2019.
”Proyeksi penerimaan pajak sudah dihitung cukup detail, tetapi yang tidak bisa diantisipasi adalah pertumbuhan atau kondisi perekonomian,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, akhir pekan lalu.
Menurut dia, shortfall pajak telah memperhitungkan aspek-aspek selain pertumbuhan ekonomi, yaitu dampak perang harga minyak, fasilitas insentif pajak tahap II senilai Rp 13,86 triliun, relaksasi stimulus tambahan Rp 70,3 triliun, penurunan tarif PPh badan menjadi 20 persen, Rp 20 triliun, dan antisipasi penundaan dividen Rp 9,1 triliun.
Kontraksi penerimaan pajak berdampak pada pelebaran defisit APBN 2020. Defisit APBN diperkirakan menjadi 5,07 persen PDB atau sekitar Rp 852,9 triliun. Proyeksi itu melebar dari target 1,76 persen PDB atau Rp 307,2 triliun.
Ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, menuturkan, pelebaran defisit APBN disebabkan penerimaan pajak yang anjlok, bukan peningkatan belanja. Kontraksi penerimaan pajak bisa lebih dalam jika pertumbuhan ekonomi semakin melambat. Skenario paling optimistis pertumbuhan ekonomi tahun ini berkisar 0,5 persen hingga minus 2-2,5 persen.
”Defisit karena penerimaan yang anjlok sehingga praktis tidak ada stimulus dilihat dari magnitud tambahan APBN. Peningkatan belanja hanya Rp 73,4 triliun,” kata Faisal.
Menurut Faisal, pemerintah perlu memperbaiki tata kelola keuangan negara. Selama ini surplus yang diperoleh dari, misalnya, bonanza komoditas dan minyak, kerap dihabiskan. Belanja dimaksimalkan sehingga tabungan negara untuk menghadapi krisis minim. Akibatnya, pemerintah harus menarik utang tambahan saat krisis.