Perumnas Negosiasi Pemegang Surat Utang untuk Restrukturisasi
Di tengah arus kas yang macet, Perum Perumnas tak mampu melunasi kewajiban pembayaran pokok utangnya. Perusahaan pelat merah itu menegosiasi pemegang surat utang untuk restrukturisasi
JAKARTA, KOMPAS — Perum Perumnas menunda pembayaran pokok surat utang jangka menengah atau medium term notes (MTN) I Tahun 2017 Seri A karena terdampak pandemi Covid-19. Perusahaan pelat merah itu diminta mengambil langkah strategis untuk merestrukturisasi utang dan memperpanjang jatuh tempo utang.
Staf Khusus Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Arya Sinulingga, Rabu (29/4/2020), mengatakan, ada banyak proyek perumahan yang sebenarnya sedang dijalankan Perumnas. Namun, penjualan rumah turun drastis sehingga berdampak pada arus kas perusahaan sejak pandemi Covid-19.
Di tengah arus kas yang macet itu, Perumnas tidak mampu melunasi kewajiban pembayaran pokok utangnya. Saat ini, Perumnas tengah bernegosiasi dengan para pemegang MTN agar merestrukturisasi utang atau memperpanjang tenggat jatuh tempo utang.
”Perlu restrukturisasi kewajiban utang jangka pendek menjadi jangka panjang. Harapannya, setelah normal, penjualan dan cash flow akan pulih lagi,” kata Arya.
Semula, pembayaran pokok utang seharusnya dilakukan pada 28 April 2020 sesuai tanggal jatuh tempo. Namun, berdasarkan keterangan resmi, Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) menyatakan, pembayaran pokok pemegang MTN I Perum Perumnas Tahun 2017 Seri A ditunda.
Direktur Keuangan Perum Perumnas Eko Yuliantoro menyatakan, bisnis tengah menghadapi ketidakpastian sebagai dampak pandemi Covid-19. Pihaknya menunggu perkembangan penanganan Covid-19 untuk memastikan langkah selanjutnya.
”Kita belum tahun kapan Covid-19 berakhir, kalau sudah tahu kapan, baru bisa berhitung. Intinya, langkah ini merupakan keputusan manajemen untuk kehati-hatian terkait perkembangan situasi,” kata Eko.
Pemasaran perumahan, khususnya untuk segmen menengah ke bawah, kata Eko, sangat terdampak pandemi Covid-19. Volume usaha turun hingga 75 persen. Segmentasi pembeli didominasi masyarakat berpenghasilan menengah bawah. ”Tidak ada niat sengaja tidak membayar. Dalam kondisi sekarang, perlu berhati-hati,” katanya.
Masyarakat menengah ke bawah membutuhkan rumah tinggal, tetapi menahan transaksi untuk sementara waktu di tengah pandemi Covid-19. Pemasaran juga sulit dilakukan di tengah penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di sejumlah daerah.
Adapun akad kredit pemilikan rumah untuk produk Perumnas anjlok 75 persen dari transaksi normal. Anjloknya pemasaran menyebabkan arus kas Perumnas merosot.
”Masyarakat berpenghasilan rendah paling terdampak Covid-19. Kalau pandemi ini mereda, industri normal dan bisnis kembali jalan, pemasaran (perumahan) akan kembali membaik,” katanya.
Pihaknya telah menempuh sejumlah opsi penyelesaian, dan berkoordinasi dengan pemegang saham. Ia memastikan hingga Juni 2020 tidak ada lagi MTN yang jatuh tempo.
Direktur PT KSEI Syafruddin memastikan Perum Perumnas sebagai penerbit MTN sudah mengajukan permohonan penundaan pembayaran kepada pemegang MTN. Penundaan dilakukan lantaran dana pokok MTN I Perum Perumnas Tahun 2017 Seri A di rekening KSEI belum efektif.
Terbit pada 25 April 2017, MTN I Perum Perumnas Tahun 2017 Seri A memiliki nilai pokok Rp 200 miliar. MTN bertenor tiga tahun ini menawarkan bunga tetap sebesar 9,75 persen yang dibayarkan setiap tiga bulan sekali. Meski terlambat membayar pokok, Perumnas tetap membayar kupon setiap tiga bulan.
Likuiditas
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menilai permasalahan terbesar yang dihadapi banyak perusahaan saat ini adalah likuiditas. Oleh karena bisnis sepi, aliran kas perusahaan yang sedianya untuk memutar bisnis sekaligus membayar utang menjadi tersendat.
Permasalahan terbesar yang dihadapi banyak perusahaan sekarang ini adalah likuiditas.
”Perusahaan mengalami cash flow yang defisit. Oleh karena itu, perusahaan mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban mereka membayar cicilan utang,” ujar Piter.
Di tengah perlambatan ekonomi dan bisnis, pemerintah telah memberikan kelonggaran pajak kepada perusahaan untuk mengurangi beban likuditas. Namun, bagi perusahaan yang benar-benar kehilangan pemasukan, bisa jadi bantuan tersebut belum mencukupi karena mereka masih ada kewajiban cicilan utang yang diterbitkan di pasar modal.
”Di Amerika Serikat, menimbang besarnya tekanan likuiditas akibat Covid-19, bank sentral AS, The Fed, melakukan pembelian surat utang langsung kepada korporasi,” ujarnya.
Menurut Piter, opsi seperti yang dilakukan The Fed perlu dikaji untuk diterapkan mengingat kebutuhan utama para pelaku pasar dunia usaha, terutama di bursa, lebih pada ketersediaan likuiditas.