Harga Murah Momentum bagi Infrastruktur di Indonesia
Harga minyak mentah dunia sedang murah, yakni di kisaran 20 dollar AS per barel. Kondisi ini bisa dijadikan kesempatan untuk impor minyak dalam jumlah besar. Syaratnya, tangki penyimpanan mesti memadai.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harga minyak mentah yang murah tak cukup dimanfaatkan Indonesia untuk mengimpor minyak sebanyak mungkin. Pembelian dalam jumlah banyak harus didukung infrastruktur berupa kilang minyak dan tangki penyimpanan yang memadai di dalam negeri.
Saat ini, kapasitas kilang di Indonesia masih di bawah kebutuhan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) nasional.
Sejak pandemi Covid-19, harga minyak mentah merosot tajam karena pasokan melimpah, sedangkan permintaan anjlok. Harga minyak yang pada awal 2020 sebesar 65 dollar AS per barel jatuh hingga di bawah 20 dollar AS per barel pada beberapa hari terakhir.
”Kalau Indonesia memiliki infrastruktur penyimpanan dan kilang untuk pengolahan minyak, tidak hanya mampu mengamankan pasokan energi nasional, tetapi juga membuat Indonesia tidak terdikte fluktuasi pasar,” kata pengajar Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi pada Universitas Trisakti Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, saat dihubungi, Kamis (23/4/2020), di Jakarta.
Cadangan minyak strategis ataupun penyimpanan BBM penting untuk memperkuat ketahan energi di Indonesia.
Selain untuk memperkuat kapasitas penyimpanan bahan bakar minyak (BBM), tambah Pri Agung, pemerintah semestinya harus mulai memikirkan tentang cadangan minyak strategis. Cadangan minyak strategis ataupun penyimpanan BBM penting untuk memperkuat ketahan energi di Indonesia.
Dalam rapat dengar pendapat secara daring antara jajaran direksi PT Pertamina (Persero) dengan Komisi VII DPR, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, pihaknya sedang merencanakan impor minyak mentah sebanyak 10 juta barel. Impor tersebut dilakukan menjadi beberapa tahap. Selain minyak mentah, Pertamina juga akan menambah impor pertamax sebanyak 9,3 juta barel.
”Saat harga minyak sedang murah seperti sekarang ini, kami mencoba memenuhi tangki penyimpanan dengan impor minyak mentah sebanyak 10 juta barel yang dilakukan secara bertahap. Impor menjadi lebih murah ketimbang memproduksi sendiri dari dalam negeri,” ujar Nicke.
Saat ini harga sedang turun, tapi permintaan lemah. Kami menjual produk BBM, tetapi tidak ada yang mau beli.
Terkait kondisi global yang menyebabkan kejatuhan harga minyak mentah, Nicke mengakui, hal itu berdampak bagi Pertamina. Kendati harga murah, penjualan BBM Pertamina seret lantaran kebijakan bekerja dari rumah dan pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar. Secara nasional, konsumsi BBM merosot sampai 35 persen.
”Saat ini harga sedang turun, tetapi permintaan lemah. Kami menjual produk BBM, tetapi tidak ada yang mau beli. Jadi, dampak bagi perusahaan atas situasi sekarang ini negatif. Tidak ada yang positif,” tutur Nicke.
Dalam laporan triwulan I-2020 Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, pandemi Covid-19 menyebabkan kegiatan hulu migas di Indonesia terdampak. Selain pergerakan barang dan orang terbatas selama pandemi, kejatuhan harga minyak mentah dunia membuat sektor hulu migas menjadi lesu. Target produksi minyak dan gas bumi diperkirakan tak tercapai.
Tahun ini ada 12 proyek hulu migas dengan nilai investasi 1,43 miliar dollar AS yang ditargetkan bisa berproduksi. Dari 12 proyek tersebut, sebanyak empat proyek di antaranya sudah beroperasi pada triwulan I-2020 dengan nilai investasi 45 juta dollar AS. SKK Migas tengah mengkaji ulang pelaksanaan proyek-proyek tersebut akibat terdampak pandemi Covid-19.
”Kebijakan pembatasan pergerakan barang dan orang akibat dampak pandemi Covid-19 menyebabkan pengadaan alat, terutama dari luar negeri, menjadi tertunda. Mobilisasi pekerja menjadi lebih sulit karena perlu izin dan butuh waktu untuk karantina. Hal ini yang menyebabkan tertundanya proyek-proyek tersebut,” kata Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto.