Harga jelantah yang menggiurkan di tingkat eksportir membuat para pengepul berlomba-lomba berburu limbah minyak goreng itu. Para jumantik pun sekarang ikut mengumpulkan jelantah.
Harga jelantah yang menggiurkan membuat perburuan jelantah di lapangan menghangat. Iklan-iklan para pengumpul yang siap membeli jelantah bertebaran di beragam media di internet. Sejumlah yayasan dan organisasi pun ikut berburu jelantah hingga ke warga di permukiman dengan mengusung label energi hijau dan gerakan amal.
Bank jelantah di Bank Sampah Srikandi RW 02 Pela Mampang, Jakarta Selatan, bahkan menerima dua permintaan jelantah dari dua lembaga. Dua organisasi itu adalah Asosiasi Pengumpul Jelantah untuk Energi Baru Terbarukan Indonesia (Apjeti) dan program Sedekah Jelantah dari Rumah Sosial Kutub (R-Sik).
Jelantah ini dikumpulkan para kader juru pemantau jentik (jumantik). Seperti Jumat (28/2/2020), para kader jumantik RW 02 Pela Mampang terlihat mengetuk pintu dari rumah ke rumah sambil menenteng wadah yang akan digunakan untuk menampung jelantah. Setelah berkeliling, jelantah dikumpulkan di jeriken yang sudah tersedia.
Koordinator Kader Jumantik RW 002 Pela Mampang, Wasinem (67), mengatakan, kegiatan ini sudah berlangsung sejak tiga tahun terakhir. Awalnya, mereka memperoleh materi dari Apjeti untuk mengumpulkan jelantah.
Beberapa bulan lalu, program Sedekah Jelantah yang diselenggarakan R-Sik juga masuk ke permukiman itu. Bank Sampah Srikandi membagi jatah jelantah yang terkumpul. ”Dari rata-rata enam jeriken jelantah yang terkumpul sebulan, dua untuk Apjeti dan empat untuk R-Sik,” kata Wasinem.
Dari Apjeti, mereka menerima Rp 50.000 untuk satu jeriken (lebih kurang 18 liter) dan dari R-Sik Rp 60.000 per jeriken. Keduanya mengambil jelantah sebulan sekali. Minat warga mengumpulkan jelantah meningkat, dari awalnya hanya sekitar dua jeriken sebulan menjadi rata-rata enam jeriken sebulan.
Warga tertarik dengan istilah sedekah jelantah sehingga secara sukarela memberikan jelantahnya tanpa bayaran. Apalagi, menurut informasi yang mereka terima, jelantah digunakan untuk bahan baku biodiesel yang ramah lingkungan.
Kegiatan ini juga mempermudah warga membuang jelantah tanpa perlu repot mengelola sendiri. Mereka juga merasa terbantu karena jelantah yang dibuang ke saluran air beberapa kali memicu air meluap. ”Kami sudah sosialisasikan bahwa jika dibuang ke got atau saluran air, jelantah akan mengeras seperti batu, lalu menyumbat saluran. Di sini sudah sering ada warga yang saluran airnya banjir, ternyata setelah diperiksa ternyata banyak gumpalan, salah satunya karena jelantah yang mengeras itu,” kata Ketua Bank Sampah Srikandi Anik Kartikawati (42).
Uang yang terkumpul di para kader jumantik itu kemudian digunakan kembali untuk berbagai kegiatan warga sampai menyumbang pembangunan kantor RW. Sedekah Jelantah juga diselenggarakan di Kelurahan Tanjung Barat, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Berbeda dengan di Pela Mampang, jelantah diberikan secara cuma-cuma oleh pengurus RT.
Salah seorang warga, Suhana (60), mengaku mengumpulkan jelantah sekitar setahun terakhir. Jelantah itu ia kumpulkan ke pengurus RT yang kemudian menyetorkan ke gudang R-Sik. Dulu, ia biasa membuang jelantah ke wastafel begitu saja. ”Sekarang kami jadi tahu jelantah itu harusnya dikumpulkan bukan dibuang begitu saja,” katanya.
Disalurkan ke perusahaan
Gudang penyimpanan jelantah Rumah Sosial Kutub hanya berjarak sekitar 50 meter dari rumahnya. Gudang itu berukuran 10 meter x 5 meter dan beratapkan seng. Berdiri di sebuah lapangan di perumahan padat penduduk, gudang itu menampung ratusan jeriken yang dikumpulkan dari seluruh wilayah.
Manajer Penghimpunan R-Sik Suhito menjelaskan, program Sedekah Jelantah dimulai sejak Mei 2018. Kini mereka sudah menampung jelantah dari sekitar 6.800 RT dari 35 kelurahan di Jakarta Selatan. Sebulan rata-rata satu RT bisa memasok jelantah sekitar 0,5 liter.
Jelantah itu kemudian dipasok ke PT Hijau Daun Energi (HDE). Menurut Suhito, PT HDE mengolah jelantah menjadi bahan baku biodiesel untuk dikirim ke luar negeri. Dari PT HDE, Rumah Sosial Kutub memperoleh uang penjualan jelantah Rp 60.000 per jeriken yang berkapasitas 16-17 liter. Uang yang diperoleh, kata Suhito, kemudian digunakan untuk kegiatan sosial seperti amal ke panti asuhan.
Dengan hitungan kasar, dari 6.8000 RT yang memasok rata-rata 0,5 liter, uang penjualan jelantah sekitar Rp 11,3 juta per bulan.
Ketua Umum Apjeti Matias Tumanggor mengatakan, pihaknya menjual jelantah untuk pasokan biodiesel dalam negeri. Untuk pasaran dalam negeri, harganya lebih murah, yaitu sekitar Rp 3.500 per liter.
Sebelumnya, Apjeti pernah memasok jelantah ke Pusat Penelitian dan Pengembangan Minyak dan Gas Bumi Lemigas. Saat ini, kata Matias, Apjeti telah berkontrak dengan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta untuk memasok 5.000 liter jelantah. Menurut rencana, jelantah akan digunakan untuk uji coba biodiesel B100 ke truk sampah.
Apjeti mempunyai 58 anggota di seluruh Indonesia, mulai dari Medan, Pekan Baru, Kalimantan Timur dan Bali. Ia memperkirakan, produksi jelantah di Indonesia tak pernah terukur. Matias memperkirakan baru 40 persen jelantah yang terambil atau 6.000-7.000 ton per bulan.
Wakil Wali Kota Jakarta Selatan Isnawa Adji mengatakan, meski tidak ada kerja sama secara formal, pemerintah kota mengapresiasi langkah pengumpulan jelantah sebagai upaya membangun kesadaran warga untuk tidak membuang jelantah sembarangan.
Selain itu, program kerja sama juga mampu membuat limbah minyak goreng bernilai lebih. ”Limbah warga dibeli oleh yayasan, kemudian oleh yayasan dijual ke Jerman untuk dijadikan biodiesel. Menurut saya, itu positif," kata Isnawa.
Seiring kenaikan harga jelantah untuk pasaran ekspor, warga menerima permintaan dari sejumlah lembaga dan organisasi untuk mengumpulkan jelantah. Kegiatan ini saling menguntungkan karena warga memperoleh saluran membuang limbah minyak gorengnya, sementara organisasi pengumpul jelantah memperoleh pasokan jelantah. Ironisnya, sebagian besar jelantah masih mengalir ke luar negeri, belum secara maksimal dimanfaatkan di dalam negeri sendiri.