Efek lanjutan dari pandemi Covid-19 adalah melebarnya kesenjangan sosial. Bantuan dari pemerintah dibutuhkan agar masyarakat yang terdampak wabah tetap terjamin kehidupannya.
Oleh
sekar gandhawangi
·5 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Permukiman kumuh di bantaran Saluran Sunter dengan latar belakang pembangunan hunian vertikal, Jakarta Utara, beberapa waktu lalu. Pandemi Covid-19 yang melanda banyak negara termasuk Indonesia menunjukkan sisi lainnya yang buruk, kesenjangan sosial antara yang kaya dengan yang miskin makin terlihat.
Sudah sekitar tiga minggu terakhir Bimo (24) menghemat uang kiriman orangtuanya. Ia belum memiliki pekerjaan karena baru dinyatakan lulus ujian kompetensi dokter beberapa waktu lalu. Uang simpanannya harus dikelola hati-hati agar cukup digunakan selama pandemi Covid-19 berlangsung.
”Wabah ini sebenarnya memengaruhi kondisi (ekonomi) keluarga. Warung ibuku terpaksa tutup karena tidak ada pembeli. Walaupun begitu, aku bersyukur karena masih bisa makan dan beraktivitas dari rumah. Entah bagaimana nasib orang lain di luar sana,” kata Bimo saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (9/4/2020).
Privilese untuk menikmati waktu di rumah juga dialami karyawan swasta Rizky (25). Perusahaan tempatnya bekerja memutuskan kebijakan bekerja dari rumah dilaksanakan dari Maret hingga Juni 2020. Sebelumnya, kebijakan itu berlaku hanya hingga pertengahan April 2020.
”Pekerjaanku bisa dilakukan dari rumah. Itu sebabnya, aku adalah sisi masyarakat yang bersyukur karena punya privilese. Tidak semua orang memilikinya,” kata Rizky.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Ojek daring membacakan barang belanjaan yang dipesan konsumennya di Toko Tani Indonesia Center milik Kementerian Pertanian di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Senin (6/4/2020). Toko Tani bekerja sama dengan Gojek agar bahan pangan murah yang dijual dapat dibeli secara daring oleh konsumen untuk mendukung imbauan pemerintah agar warga beaktivitas dan bekerja dari rumah.
Adapun warga Jakarta, Hamidah (47), mengaku kondisi keuangan keluarganya surut sejak pandemi berlangsung. Pendapatan suaminya yang bekerja sebagai buruh pikul turun hingga lebih dari 50 persen per hari. Untuk memperoleh Rp 100.000 per hari, suaminya harus bekerja hingga larut malam tanpa henti.
Ia tidak punya pilihan lain selain bertahan dengan uang seadanya. Bantuan bahan pangan yang didapat sebagai pemegang Kartu Jakarta Pintar meringankan beban ekonomi keluarga Hamidah. Bantuan yang ia dapat per bulan antara lain berupa beras, daging sapi, daging ayam, dan susu.
”Mau tidak mau suami harus bekerja saat sedang wabah. Saya juga terpaksa pergi ke kerumunan untuk mendapat bantuan bahan makanan,” kata Hamidah.
Sopir taksi daring Arie Yulianti (47) juga merasakan dampak dari wabah Covid-19. Jumlah penumpang yang ia angkut menurun drastis sejak sekitar pertengahan Maret 2020. Adapun masa ketika ia tidak mendapatkan penumpang sama sekali. Padahal, ia dapat melayani sekitar 18 penumpang per hari dalam kondisi normal.
Mereka rentan karena mengandalkan aktivitas ekonomi harian dan tidak terjamin dalam skema keamanan sosial. Ini penyebab kesenjangan sosial yang semakin kentara.
Di sisi lain, pekerjaan keduanya sebagai agen properti pun tidak menguntungkan di masa sekarang. Arie akhirnya memutuskan berhenti bekerja selama beberapa saat dan tinggal di rumah. ”Mau tidak mau saya harus bertahan dengan menghemat uang tabungan yang ada,” katanya.
Data Kementerian Tenaga Kerja per Rabu (8/4/2020) dini hari, total pekerja dan buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan sebanyak 1,2 juta orang dari 74.430 perusahaan. Rincinya, pekerja yang terkena PHK dan dirumahkan dari sektor formal sebanyak 1,01 juta orang dari 39.977 perusahaan. Dari sektor informal, pekerja yang terdampak dan kehilangan pekerjaan sebanyak 189.452 orang dari 34.453 perusahaan di berbagai industri. Beberapa kasus PHK dilakukan sepihak dan tidak sesuai prosedur.
Kelompok rentan
Arie dan sejumlah masyarakat yang menggantungkan hidup sebagai pekerja informal dikategorikan sebagai kelompok rentan. Mereka adalah golongan yang rentan menerima dampak negatif dari pandemi Covid-19, baik dari segi kesehatan maupun ekonomi.
”Mereka rentan karena mengandalkan aktivitas ekonomi harian dan tidak terjamin dalam skema keamanan sosial. Ini penyebab kesenjangan sosial yang semakin kentara. Kelompok kelas menengah juga sebenarnya mengalami kesulitan di masa ini, tapi itu tidak menjadikan mereka kelompok rentan,” kata Arie.
Data Badan Pusat Statistik menyatakan ada 70,49 juta pekerja informal di Indonesia atau setara 55,72 persen pada Agustus 2019. Jumlah pekerja formal pada periode yang sama sebanyak 56,02 juta orang atau 44,28 persen. Pekerja informal biasanya bekerja secara serabutan dan bergantung pada pendapatan harian, seperti pedagang kaki lima dan buruh.
GERAKAN SOLIDARITAS MAGELANGAN
Pembagian nasi kotak kepada warga miskin terdampak wabah Covid-19.
Para pekerja informal yang terdampak pandemi selama ini ditopang oleh masyarakat lintas kelas dan profesi. Sejumlah donasi diselenggarakan untuk membantu mereka, baik dalam bentuk uang tunai, makanan, maupun masker dan cairan pembersih tangan.
Sejumlah pemberi pengaruh (influencer) di media sosial juga mengajak warganet untuk berbagi kebaikan. Misalnya, memberi tips kepada kurir pengantar barang hingga membelikan makanan kepada sopir ojek daring.
Arie mengatakan, gerakan solidaritas masyarakat tersebut terjadi secara spontan. Hal tersebut menjadi jaring pengaman sosial sementara bagi masyarakat yang kehilangan pekerjaan dan pendapatan selama pandemi. Kendati demikian, solidaritas ini tidak bisa bertahan lama. Ia memprediksi gerakan ini akan berjalan selama 2-3 bulan.
”Tugas negara adalah menyiapkan kebijakan untuk menyelesaikan masalah ini secara cepat dan tepat, baik untuk jangka pendek maupun menengah. Kecepatan menyelesaikan masalah dan upaya penyelamatan (pasien Covid-19) harus berjalan beriringan,” kata Arie.
Menurut laporan Gubernur DKI Anies Baswedan kepada Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam konferensi video, Kamis (2/4/2020), warga tak mampu banyak tinggal di hunian kumuh yang padat. Pembatasan sosial sulit dilaksanakan dalam kondisi itu. Anies menambahkan, sebanyak 1,1 juta warga miskin mendapat bantuan sesuai program pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta. Namun, bagi 2,6 juta warga rentan miskin belum ada kejelasan bantuan (Kompas, 4/4/2020).
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR
Tangkapan layar siaran langsung jumpa pers Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terkait pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar pada hari Selasa (7/4/2020) malam.
Kini, pemerintah sedang menyiapkan program jaringan pengaman sosial baru untuk menangani dampak pandemi. Program yang dimaksud adalah bantuan langsung kepada 40 persen penduduk termiskin (29,3 juta orang) di Indonesia dan bantuan langsung tunai di wilayah DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Sasaran bantuan di Jabodetabek adalah sekitar 2,5 juta orang.
Untuk sementara, anggaran yang disiapkan Kementerian Keuangan untuk bantuan langsung tunai bagi 40 penduduk termiskin adalah Rp 17,58 triliun. Anggaran untuk bantuan langsung tunai khusus di Jabodetabek sebesar Rp 1,1 triliun. Bantuan ini akan diberikan pada April-Juni 2020.