Pandemi Covid-19 akan berdampak serius pada kemiskinan. Di sisi lain, pemerintah telah menyiapkan anggaran kesehatan, perlindungan sosial, dan insentif usaha senilai total Rp 405,1 triliun.
Oleh
karina isna irawan/nina susilo/agnes theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pembatasan mesti mempertimbangkan aspek ekonomi bagi penduduk dan perusahaan. Tanpa skema jaminan sosial yang matang, langkah ini berpotensi meningkatkan pemutusan hubungan kerja dan jumlah penduduk miskin.
Dalam laporan bertajuk Asia Timur dan Pasifik ketika Covid-19, Selasa (31/3/2020), Bank Dunia memperingatkan, pandemi Covid-19 akan berdampak serius terhadap kemiskinan. Jika situasi ekonomi memburuk, jumlah penduduk miskin di kawasan Asia Timur dan Pasifik akan bertambah sekitar 11 juta orang. Sebelumnya, sekitar 35 juta orang diperkirakan keluar dari kemiskinan pada 2020.
Risiko jatuh miskin itu membayangi penduduk dan perusahaan yang bergerak di sektor-sektor yang terimbas langsung Covid-19, seperti pariwisata, manufaktur, dan informal. Bank Dunia juga menyebutkan, resesi global berpotensi membayangi perekonomian negara-negara kawasan Asia Timur dan Pasifik, termasuk Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan melambat cukup dalam, menjadi 2,1 persen pada 2020.
Risiko jatuh miskin itu membayangi penduduk dan perusahaan yang bergerak di sektor-sektor yang terimbas langsung Covid-19, seperti pariwisata, manufaktur, dan informal.
Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik Aaditya Mattoo mengatakan, kebijakan pembatasan akan berdampak signifikan terhadap kondisi ekonomi penduduk ataupun perusahaan. Apalagi, sebagian besar penduduk Indonesia bekerja di sektor informal dengan penghasilan harian.
”Prioritas saat ini adalah mengurangi dampak negatif itu, baik untuk rumah tangga maupun dunia usaha,” kata Mattoo dalam telekonferensi pers dari Washington, Amerika Serikat.
Beberapa negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik memilih skema jaminan sosial untuk menopang perekonomian ketika karantina wilayah diberlakukan. Hong Kong, misalnya, memberi kompensasi atas karantina wilayah kepada pekerja informal berupa bantuan langsung tunai (BLT) senilai dua kali lipat dari BLT normal.
Skema jaminan sosial, lanjut Mattoo, harus berbeda dengan yang ada saat ini. Tujuan pemberian jaminan sosial bukan untuk meningkatkan konsumsi, melainkan menjaga konsumsi. Untuk itu, manfaat yang diberikan setidaknya harus dua kali lipat sehingga mendorong pekerja berdiam di rumah selama karantina wilayah.
Perlindungan sosial
Pada Selasa sore, Presiden Joko Widodo mengumumkan, Indonesia menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk menghadapi Covid-19. Presiden juga menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan. Dengan regulasi itu, pemerintah menetapkan realokasi anggaran di APBN Perubahan 2020 sebesar Rp 405,1 triliun.
Alokasi ini terdiri dari belanja bidang kesehatan Rp 75 triliun, perlindungan sosial Rp 110 triliun, insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat Rp 70,1 triliun, dan pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional, termasuk restrukturisasi kredit serta penjaminan dan pembiayaan dunia usaha, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah Rp 150 triliun. Pemerintah juga memperkirakan defisit APBN bisa mencapai 5,07 persen dari PDB.
Pemerintah juga memperkirakan defisit APBN bisa mencapai 5,07 persen dari PDB.
Sementara, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan, Kementerian BUMN dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sedang memetakan proyek infrastruktur yang dapat ditunda dan dilanjutkan di tengah pandemi Covid-19.
”Sedang dilihat kembali, tentu melihat keadaan arus kas BUMN. Ada yang tunda ada yang lanjut, tetapi kita tidak mungkin menunda semua. Jangan sampai kita telat. Ketika China pulih, negara lain pulih, kita masih terjebak virus korona. Ini tidak boleh,” kata Erick.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengemukakan, proyek-proyek juga harus ditunda untuk menjaga kesehatan dan keselamatan pekerja.
”Sebaiknya alokasi dana infrastruktur dari APBN digunakan untuk keperluan penanganan Covid-19. Kita lebih perlu membeli alat kesehatan, APD, dan memberi insentif untuk tenaga medis. Itu jauh lebih bijak,” ujarnya.