Penyiapan hotel untuk asrama tenaga medis perlu dimatangkan dan hati-hati. Perlu ada proteksi lengkap bagi karyawan. Antisipasi pula hotel yang bepenyejuk ruangan (AC) tersentral.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengerahkan jaringan hotel untuk dijadikan asrama atau tempat tinggal sementara para tenaga medis dan sukarelawan yang menangani coronavirus disease 2019 atau Covid-19. Rencana ini perlu disiapkan dengan matang dan hati-hati, khususnya terkait prosedur standar kesehatan bagi karyawan dan tamu hotel lain yang akan ikut berisiko terpapar virus korona jenis baru.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama Kusubandio saat dihubungi di Jakarta, Kamis (26/3/2020), mengatakan, kriteria jaringan hotel yang akan diajak bekerja sama adalah perusahaan yang tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawannya. Perusahaan itu juga siap membuat prosedur standar kesehatan baru dan mempunyai jaringan hotel yang berjarak dekat dengan rumah sakit rujukan.
Sejauh ini, perusahaan yang bersedia membuka pintunya adalah Accor yang memiliki jaringan akomodasi cukup luas di sejumlah kota besar di Indonesia. Hotel-hotel yang berada di bawah Accor antara lain Sofitel, Grand Mercure, Pullman, Novotel, Ibis, Swissotel, dan Fairmont.
Hal ini dilakukan untuk mempermudah mobilitas dokter, tenaga medis, dan para sukarelawan dari dan menuju rumah sakit. Selain itu, untuk menekan risiko penyebaran virus dengan menahan para tenaga medis dan sukarelawan agar tidak pulang ke rumah masing-masing untuk sementara.
Hal ini dilakukan untuk menekan risiko penyebaran virus dengan menahan para tenaga medis dan sukarelawan agar tidak pulang ke rumah masing-masing untuk sementara.
Selain Accor, Kemenparekraf juga tengah memproses kerja sama serupa dengan RedDoorz Hotel dan Tauzia Group (Hotel Harris, Pop Hotel, Hotel Yello). Untuk RedDoorz Hotel, rencana penandatanganan nota kesepakatan baru akan dilakukan pada Jumat (27/3/2020) ini.
”Saat ini, kami sedang menunggu data kebutuhan kamar yang dibutuhkan dari empat rumah sakit rujukan di Jakarta. Setiap rumah sakit sedang mengerjakannya,” kata Wishnutama.
Di Jakarta, langkah serupa diambil Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yang mengubah tiga hotel milik BUMD Jaktour sebagai tempat tinggal sementara para petugas medis. Salah satu yang disiapkan adalah Hotel Grand Cempaka di Jakarta Pusat. Selain itu, akan ada dua hotel lainnya yang juga disiapkan.
Sebelumnya, Kementerian Badan Usaha Milik Negara juga sudah membuka pintu Hotel Patra Jasa Jakarta sebagai tempat penampungan sementara tenaga medis dan sukarelawan Covid-19. Hal serupa dilakukan The Media Hotel Jakarta.
Inisiatif ini mengikuti tren yang muncul di sejumlah negara. Berbagai jaringan hotel dan kapal pesiar turun tangan menawarkan properti mereka menjadi rumah sakit darurat ataupun tempat tinggal.
Hati-hati
Meski demikian, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) tidak ikut memfasilitasi inisiatif kerja sama ini. Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran mengatakan, PHRI menyerahkan keputusan itu kepada pemerintah dan setiap perusahaan hotel. Perusahaan yang bersedia membuka pintunya diharapkan menyiapkan dengan matang dan penuh kehati-hatian.
”Kami bukannya tidak mendukung, tetapi kami tidak bisa ikut fasilitasi. Ini masalah sensitif dan banyak risikonya. Peruntukan hotel by design tidak cukup steril untuk menampung tenaga medis yang pasti terpapar virus. Jadi, biar kembali lagi saja pada keputusan setiap perusahaan,” tuturnya.
Ini masalah sensitif dan banyak risikonya. Peruntukan hotel by design tidak cukup steril untuk menampung tenaga medis yang pasti terpapar virus.
Menurut dia, ada banyak risiko yang bisa muncul dari rencana mengubah hotel menjadi tempat penampungan. Desain kamar dan prosedur standar hotel tidak semuanya siap untuk terdedah dengan virus. Ia mencontohkan, hotel-hotel umumnya memiliki sistem berpenyejuk ruangan (AC) sentral yang berarti salurannya terhubung lintas ruangan. Virus yang menempel pada tenaga medis bisa saja menyebar lewat saluran itu.
Di sisi lain, hotel juga harus menyiapkan prosedur standar yang aman untuk semua karyawan serta tamu hotel. ”Harus ada proteksi lengkap bagi karyawan, pelatihan dan pemahaman mendasar juga penting. Sebab, para karyawan bukan tenaga medis dan tidak semuanya paham cara mengamankan diri dari paparan virus,” kata Maulana.
Khawatir
Implementasi rencana ini mengharuskan persiapan yang matang dari pihak hotel terkait prosedur standar kesehatan dan keamanan menampung para tenaga medis yang berisiko tinggi terpapar virus. Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Pariwisata Reformasi Sofyan Abdul Latief mengatakan, ada kekhawatiran dari sejumlah pekerja perhotelan terkait standar keamanan.
”Karena itu, pekerja juga meminta agar perusahaan bisa melengkapi dengan alat pelindung diri yang benar-benar memadai. Sebab, bisa saja karyawan ikut terpapar,” katanya.
Seiring dengan itu, pekerja perhotelan kembali dipekerjakan setelah belakangan ini dirumahkan oleh perusahaan. Beberapa hotel dan restoran memang sempat merumahkan serta memotong upah karyawan karena bisnis lesu dan tingkat okupansi rata-rata sudah mencapai di bawah 10 persen.
”Banyak yang sebelumnya sudah dirumahkan, tetapi dipanggil kembali satu per satu karena hotel kembali beroperasi, hanya saja untuk tujuan yang berbeda,” ujar Sofyan.