Bank Indonesia menilai situasi ekonomi Indonesia saat ini tidak sama dengan krisis pada 1998 ataupun 2008. Otoritas moneter percaya ketidakpastian akibat Covid-19 akan segera berakhir.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketidakpastian yang menyelimuti pekonomian Indonesia akibat pandemi Covid-19 dianggap berbeda dengan pelemahan ekonomi yang mendera Indonesia akibat krisis keuangan global 2008 dan krisis keuangan Asia 1997. Arus modal asing dipercaya kembali masuk ke Indonesia setelah kekhawatiran investor mereda.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam siaran video langsung melalui kanal Youtube Bank Indonesia, Kamis (26/3/2020), memaparkan, pada krisis keuangan global 2008, investor berbondong-bondong menarik aliran modal investasi dari negara berkembang akibat sistem keuangan di Amerika Serikat dan Eropa yang kolaps.
Kondisi tersebut membuat selisih risiko (risk spread) dari surat-surat berharga di pasar keuangan Indonesia meningkat signifikan dibandingkan dengan negara-negara maju. Hal ini lantas mendorong arus modal keluar dari investasi asing di pasar saham, Surat Utang Negara (SUN), hingga Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Sementara pada periode 1997-1998, nilai tukar rupiah anjlok secara drastis, mulai dari Rp 2.362 per dollar AS menjadi Rp 15.250 per dollar AS, akibat dampak sistemik krisis keuangan Asia serta kepercayaan pasar atas stabilitas politik dan keamanan di Tanah Air yang rontok.
”Kondisi yang kita hadapi saat ini berbeda dengan krisis 1998 ataupun 2008. Sebagai otoritas moneter, BI menjalankan protokol berupa koordinasi intensif dengan pemerintah dan otoritas keuangan lain untuk menjaga stabilitas ekonomi makro dan sistem keuangan,” ujar Perry.
Nilai tukar rupiah yang anjlok dalam sebulan terakhir, lanjut Perry, disebabkan aliran modal investasi yang keluar dari pasar surat berharga Indonesia menuju instrumen investasi berisiko rendah. Dorongan ini terjadi akibat dominasi sentimen penyebaran Covid-19 secara global yang dikhawatirkan menghambat laju pertumbuhan ekonomi negara berkembang.
Berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), Kamis (26/3), rupiah di level Rp 16.328 per dollar AS atau melemah 1.915 poin dibandingkan dengan 2 Maret 2020, yakni Rp 14.413 per dollar AS. Menurut data BI, pada 2-24 Maret 2020, aliran modal yang keluar dari SBN, SBI, dan pasar saham mencapai Rp 104,7 triliun.
Keberadaan sentimen yang mampu meredakan kekhawatiran investor dapat mengembalikan aliran modal ke pasar keuangan dalam negeri. Apalagi, lanjut Perry, fundamen ekonomi Indonesia terjaga dalam kondisi yang stabil.
”Ketidakpastian ekonomi saat ini bersifat temporer. Kepanikan yang terjadi selama dua minggu terakhir mulai reda seiring stimulus fiskal dalam jumlah besar dari AS dan Jerman,” kata Perry.
Pemerintah Jerman telah menyusun program jaminan publik 550 miliar euro (Rp 9.777 triliun) pada tahun ini untuk membeli saham-saham industri penting serta menjaga agar bisnis perusahaan tetap bertahan. Ada juga stimulus fiskal berupa anggaran darurat tambahan sebesar 750 miliar euro (Rp 13.332 triliun) yang telah ditandatangani pemerintah.
Adapun Pemerintah AS telah menyepakati stimulus bantuan finansial sebesar 2 triliun dollar AS (Rp 32.800 triliun) bagi warga terdampak Covid-19.
Kekhawatiran investor yang mereda akibat sentimen-sentimen global tersebut terefleksi dari posisi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada penutupan perdagangan Kamis (26/3), yang menguat hingga 10,19 persen ke level 4.338,9. Sepanjang perdagangan, investor asing mencatatkan aksi beli bersih Rp 662,26 miliar.
Selain bauran instrumen fiskal negara-negara ekonomi kuat, penguatan IHSG pada perdagangan Kamis juga ditopang sentimen kenaikan harga komoditas, seperti minyak, nikel, timah, emas, batubara, dan minyak sawit mentah. Penguatan IHSG sejalan dengan penguatan pada indeks PSEi Filipina (7,44 persen), dan indeks SENSEX India (4,94 persen).
”Kenaikan harga komoditas, seperti minyak yang naik 3,15 persen, nikel naik 3,57 persen, timah naik 8,16 persen, emas naik 5,24 persen, batubara naik 6,34 persen, dan CPO juga naik 7,43 persen, mengembalikan optimisme pasar terhadap emerging market,” kata Kepala riset MNC Sekuritas Edwin Sebayang.