Utang Bisa Jadi Alternatif
Indonesia mesti menambah dana untuk penanganan Covid-19. Utang bisa jadi pilihan di saat investor sedang panik atas kondisi pasar.
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah kondisi pandemi Covid-19 seperti saat ini, utang luar negeri bisa jadi pilihan. Mencari dana melalui penerbitan surat utang atau surat berharga negara tak bisa dipilih karena investor tengah panik menghadapi risiko ketidakpastian akibat pandemi.
Penambahan biaya atau utang ditempuh karena pemerintah mesti meningkatkan belanja untuk menangani dan menanggulangi Covid-19. Oleh karena itu, pemerintah akan berhadapan dengan risiko pelebaran defisit APBN seiring penambahan pembiayaan dan penurunan penerimaan pajak.
Berdasarkan data Bank Indonesia, utang luar negeri pemerintah per Januari 2020 sebesar 204,945 miliar dollar AS atau tumbuh 9,5 persen secara tahunan. Jumlah itu terdiri dari surat utang 150,609 miliar dollar AS dan pinjaman 54,336 miliar dollar AS.
”Dalam kondisi seperti saat ini, utang luar negeri menjadi pilihan karena bisa membantu meningkatkan cadangan devisa yang dibutuhkan untuk stabilisasi nilai tukar,” kata Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah yang dihubungi di Jakarta, Senin (23/3/2020).
Dalam APBN 2020, defisit anggaran ditargetkan Rp 307,2 triliun atau 1,76 persen produk domestik bruto (PDB).
Pendapat Piter itu terkait pinjaman dari Bank Dunia dan hibah dari Bank Pembangunan Asia (ADB) untuk penanganan Covid-19 di Indonesia.
Bank Dunia meminjamkan 300 juta dollar AS bagi Indonesia. Pinjaman itu untuk memperkuat sektor keuangan dalam rangka menjaga pertumbuhan ekonomi di tengah pandemi Covid-19. Jika dihitung berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Senin, yakni Rp 16.608 per dollar AS, pinjaman itu setara Rp 4,982 triliun.
Dalam siaran pers, Bank Dunia menyebutkan, saat ini sekitar setengah penduduk dewasa Indonesia tidak memiliki rekening bank. Akibatnya, kesempatan berinvestasi untuk masa depan serta mendapat perlindungan dari guncangan finansial dan nonfinansial menjadi terbatas.
Di sisi lain, keterbatasan layanan keuangan dan kekurangan insentif untuk tabungan jangka panjang menciptakan risiko lebih lanjut bagi individu. Kondisi ini membatasi peluang berinvestasi di sektor-sektor penting, di antaranya infrastruktur.
”Sektor keuangan yang sehat dan berfungsi dengan baik sangat penting untuk mempertahankan pertumbuhan Indonesia serta mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi pemerintah dan pengentasan kemiskinan, terutama di tengah kondisi global yang terus menantang,” kata Satu Kahkonen, Country Director Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman yang dimintai konfirmasi mengatakan, pinjaman Bank Dunia akan digunakan untuk membantu percepatan agenda reformasi sektor keuangan Indonesia.
Pinjaman Bank Dunia akan digunakan untuk membantu percepatan agenda reformasi sektor keuangan Indonesia.
Ada tiga kebijakan utama terkait percepatan agenda reformasi ini. Pertama, memperluas produk pasar keuangan dan memobilisasi tabungan jangka panjang. Tujuannya, meningkatkan ketersediaan dana dan akses terhadap peluang keuangan bagi individu dan perusahaan. Kedua, meningkatkan efisiensi sektor keuangan dengan menjadikan praktik keuangan lebih transparan, andal, dan berbasis teknologi. Ketiga, memperkuat ketahanan sektor keuangan dari guncangan dengan mempromosikan praktik keuangan berkelanjutan, membangun mekanisme keuangan risiko bencana, serta kerangka kerja resolusi.
”Percepatan reformasi lebih lanjut untuk meningkatkan efisiensi dan inklusi tanpa mengabaikan stabilitas diperlukan untuk membiayai kurangnya infrastruktur dan memperluas peluang ekonomi bagi individu dan usaha di Indonesia,” ujar Luky.
Pada 2020, pemerintah menetapkan pagu pinjaman dalam APBN sebesar Rp 37,5 triliun. Adapun realisasi pinjaman per Februari 2019 sebesar Rp 1,7 triliun atau 4,6 persen dari pagu.
Sabtu (21/3/2020), ADB memberikan hibah 3 juta dollar AS untuk penanganan Covid-19 di Indonesia. Hibah diberikan untuk membeli peralatan medis, seperti ventilator, sarung tangan, apron, dan masker bagi tenaga medis. ADB menyiapkan paket hibah senilai 6,5 miliar dollar AS untuk membantu negara-negara berkembang menangani pandemi Covid-19.
Baca juga: Indonesia Ajukan Utang Luar Negeri Tangani Covid-19
Pinjaman diperlukan untuk mengantisipasi kekurangan dana penanganan Covid-19. Pemerintah mengalokasikan Rp 118,3 triliun-Rp 121,3 triliun yang bersumber dari realokasi belanja kementerian/lembaga serta transfer daerah dan dana desa.
Piter menambahkan, kendati utang luar negeri dalam posisi aman, utang itu tetap harus digunakan untuk kegiatan produktif. Kepanikan investor akibat risiko Covid-19 di Indonesia mesti cepat diakhiri agar nilai tukar rupiah kembali menguat. Dengan cara itu, risiko utang luar negeri tetap terkendali.
Masih panik
Kepanikan masih tecermin pada perdagangan saham, Senin, yang diwarnai penghentian sementara (trading halt) karena indeks saham anjlok 5 persen. Pada pukul 14.52, Indeks Harga Saham Gabungan anjlok 5 persen ke posisi 3.985. Setelah dibuka kembali, IHSG tak mampu meraih level 4.000-an dan ditutup pada level 3.989,52.
Sepanjang Senin, IHSG anjlok 4,9 persen, kendati investor asing membukukan pembelian bersih Rp 36,64 miliar. Sejak awal tahun ini, IHSG Sudah merosot 36,67 persen, sedangkan investor asing membukukan penjualan bersih Rp 10,204 triliun. Kapitalisasi pasar di Bursa Efek Indonesia sebesar Rp 4.616 triliun.
Situasi pasar yang panik juga terjadi pada nilai tukar rupiah. Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, rupiah menembus Rp 16.608 per dollar AS.
Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia Katarina Setiawan menilai, pandemi Covid-19 di dunia dan penurunan drastis harga minyak dunia menyebabkan koreksi tajam di pasar finansial global.
”Ini adalah black swan event, suatu peristiwa tidak terduga, sangat jarang terjadi, dan membawa dampak yang ekstrem. Kepanikan pasar terlihat jelas pada nilai tukar rupiah. Hal ini tentu bukan merupakan nilai wajar,” ujar Katarina.
Menurut Katarina, pandemi Covid-19 dan penurunan harga minyak dunia membuat pelaku pasar memiliki ekspektasi soal resesi global. Namun, Katarina berpendapat, harga minyak yang rendah tidak akan berkelanjutan karena perang harga yang diinisiasi oleh Arab Saudi diperkirakan akan mendorong Rusia untuk kembali berunding.
Adapun dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian tergantung dari seberapa cepat dan efektif penanganan penyebarannya. Saat ini semakin banyak negara di dunia, termasuk Indonesia, menerapkan kebijakan pembatasan sosial (social distancing) untuk mengurangi penyebaran virus.
”Dengan kesadaran tinggi dari seluruh dunia dan tindakan tegas untuk meredam penyebaran virus ini, diharapkan wabah dapat ditangani dan jumlah kasus mulai stabil serta menurun sebelum akhir triwulan II-2020,” ujarnya.
Secara terpisah, Deputi Komisioner Humas dan Logistik Otoritas Jasa Keuangan Anto Prabowo menyampaikan, regulator pasar modal yang terdiri dari OJK, BEI, Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI), dan Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) melakukan sejumlah pelonggaran untuk meredam gejolak pasar. Jumlah maksimum pembelian saham kembali (buy back) oleh emiten atau perusahaan publik tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan rapat umum pemegang saham ditingkatkan dari sebelumnya 10 persen modal disetor menjadi 20 persen modal disetor.
Sementara itu, Badan Anggaran DPR merekomendasikan agar pemerintah segera menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau perppu untuk menyesuaikan kembali APBN 2020 dengan kondisi darurat pandemi Covid-19. Perppu dibutuhkan karena Rapat Paripurna DPR tidak mungkin dilaksanakan dalam waktu dekat, karena reses diperpanjang hingga 29 Maret 2020.
Pimpinan Banggar DPR menggelar telekonferensi dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, Senin. Dalam keterangan persnya, Ketua Banggar DPR Said Abdullah mengatakan, dari pembicaraan itu dirumuskan tiga rekomendasi, yang semuanya berupa penerbitan perppu.
Menurut Said, penyebaran Covid-19 sangat memukul perekonomian negara. Hampir seluruh indikator ekonomi makro berubah signifikan. APBN 2020 sebagai instrumen fiskal utama yang dimiliki pemerintah untuk menjalankan roda pembangunan, praktis banyak berubah.
Untuk menjaga keberlangsungan APBN 2020 dan perekonomian nasional dalam penanggulangan Covid-19 serta fungsi fiskal lainnya, pemerintah dinilai perlu mengambil sejumlah langkah. Pertama, menerbitkan Perppu APBN 2020. Kedua, pemerintah diminta menerbitkan Perppu terhadap UU Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi dan badan, sebagai UU Perubahan Kelima dari Undang-Undang Pajak Penghasilan. Poin penting dari penerbitan perppu ini ialah memberikan insentif PPh orang pribadi dengan tarif PPh 20 persen bagi yang simpanannya di atas Rp 100 miliar. Namun, yang bersangkutan wajib memberikan kontribusi kepada negara sebesar Rp 1 miliar untuk pencegahan dan penanganan Covid 19 melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Covid-19.
Adapun ketiga, pemerintah didorong segera menerbitkan Perppu yang merevisi UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, terutama di dalam penjelasannya. Revisi dilakukan pada norma penjelasan yang memberikan kelonggaran defisit APBN, yakni dari 3 persen ke 5 persen dari produk domestik bruto (PDB) dan rasio pajak terhadap PDB tetap 60 persen.
Namun, anggota Banggar DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil, mengatakan, ia tidak mendapat informasi atau pemberitahuan mengenai pembicaraan atau rapat di internal pimpinan Banggar maupun dengan Menkeu dan Gubernur BI.
Nasir mengatakan, sebagai anggota Banggar, ia mendukung upaya mendorong anggaran bagi pengadaan fasilitas kesehatan maupun alat perlindungan diri (APD) bagi tenaga kesehatan dan dokter yang berada di garis terdepan dalam menghadapi wabah Covid-19. Namun, hal itu semestinya dilakukan melalui prosedur yang sesuai dengan aturan dan melibatkan persetujuan anggota Banggar dari berbagai fraksi.