Korona Merebak, Perundingan Bilateral Tetap Jalan meski Melalui Konferensi Video
Sejumlah pertemuan bilateral secara langsung dijadwal ulang karena kami mengedepankan prinsip ”safety first”. Namun, kami juga mengadakan pembicaraan melalui konferensi video.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
Di tengah merebaknya virus korona baru atau Covid-19, Indonesia tetap mengadakan perundingan bilateral dengan sejumlah negara mitra dagang. Perundingan bilateral menjadi salah satu langkah strategis untuk mendongkrak kinerja perdagangan nasional.
Direktur Perundingan Bilateral Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Ni Made Ayu Marthini menyatakan, perundingan bilateral terkait perjanjian perdagangan dengan sejumlah negara mitra tetap berjalan.
”Sejumlah pertemuan (tatap muka) dijadwal ulang karena kami mengedepankan prinsip safety first. Namun, kami juga mengadakan pembicaraan melalui konferensi video,” katanya saat ditemui di kantornya, Jakarta, Senin (2/3/2020).
Sejumlah pertemuan (tatap muka) dijadwal ulang karena kami mengedepankan prinsip safety first. Namun, kami juga mengadakan pembicaraan melalui konferensi video.
Dalam perspektif jangka panjang, Made berpendapat, perundingan perdagangan memiliki peran strategis mendongkrak kinerja neraca perdagangan. Jika dianalogikan, perjanjian perdagangan menjadi jalan antarkedua pihak yang saling berdagang.
Jalan ini yang akan ditapaki oleh pelaku industri nasional mengalirkan produknya ke negara mitra. Bahkan, Made menilai, perundingan perdagangan merupakan salah satu sarana mereformasi perekonomian nasional.
”Perundingan perdagangan yang berujung pada perjanjian dagang yang disepakati akan mendorong Indonesia meningkatkan daya saing untuk memenuhi standar di negara mitra yang menjadi tujuan ekspor,” tuturnya.
Saat ini terdapat delapan perundingan perjanjian perdagangan yang tengah berjalan. Lima di antaranya ditargetkan rampung di tahap kesimpulan (conclusion) pada tahun ini.
Perjanjian-perjanjian itu antara lain Perjanjian Kerja Sama Ekonomi Komprehensif antara Indonesia dan Uni Eropa (I-EU CEPA), Perjanjian Kerja Sama Ekonomi Komprehensif antara Indonesia dan Turki, Perjanjian Dagang Preferensial antara Indonesia dan Tunisia, Perjanjian Dagang Preferensial antara Indonesia dan Bangladesh, serta Perjanjian Dagang Preferensial antara Indonesia dan Iran.
Hingga saat ini, ada delapan perjanjian perdagangan internasional yang sudah rampung. Perjanjian-perjanjian itu adalah Perjanjian Kerja Sama Ekonomi Komprehensif antara Indonesia dan Australia, Perjanjian Kerja Sama Ekonomi Komprehensif antara Indonesia dan Korea Selatan, Perjanjian Kerja Sama Ekonomi Komprehensif antara Indonesia dan Chile, dan Perjanjian Dagang Preferensial antara Indonesia dan Mozambik.
Made menyatakan, perjanjian perdagangan yang sudah rampung itu merupakan upaya untuk mengakselerasi pertumbuhan kinerja neraca perdagangan Indonesia. ”Ada perjanjian dagang dengan negara maju, ada pula yang menyasar negara yang tergolong tujuan ekspor nontradisional,” katanya.
Kementerian Perdagangan juga mencatat, terdapat 12 negosiasi dagang yang potensial untuk dijajaki, misalnya Perjanjian Dagang Preferensial antara Indonesia dan Djibouti, Perjanjian Dagang Preferensial antara Indonesia dan Kolombia, Perjanjian Dagang Preferensial antara Indonesia dan Fiji, serta Perjanjian Dagang Preferensial antara Indonesia dan East African Community.
Hambatan perdagangan
Selain terus merampungkan perjanjian-perjanjian perdagangan, Indonesia juga berupaya menghadapi gugatan dan hambatan perdagangan. Pada tahun ini, Kementerian Perdagangan akan memperjuangkan potensi ekspor agar tidak hilang dalam sengketa dagang dengan negara lain.
Sengketa dagang itu meliputi tudingan dumping, subsidi, dan tindakan pengamanan perdagangan (safeguard). Ada 34 kasus sengketa dagang Indonesia dengan 12 negara/kawasan dengan potensi ekspor senilai total Rp 50,54 triliun. Negara dan kawasan itu antara lain Australia, India, Madagaskar, Malaysia, Filipina, Amerika Serikat, Uni Eropa, Turki, Ukraina, Vietnam, dan Mesir.
Ada 34 kasus sengketa dagang Indonesia dengan 12 negara/kawasan dengan potensi ekspor senilai total Rp 50,54 triliun.
Sebelumnya, pada 2019, Indonesia telah berhasil memenangi 9 kasus sengketa dagang di 8 negara. Total nilai ekspor yang berhasil diselamatkan Rp 25,3 triliun.
Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga, Senin (2/3/2020), di Jakarta, mengaku kerap kali memimpin tim delegasi yang menangani kasus sengketa perdagangan. Kasus-kasus tersebut pun tergolong strategis karena ”berhadapan” langsung dengan sejumlah mitra dagang penting, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Ada dua agenda besar yang terus diperjuangkan Kementerian Perdagangan tahun ini. Pertama, mempertahankan fasilitas sistem tarif preferensial umum (GSP) yang diberikan AS. Kedua, menggugat Arahan Energi Terbarukan (RED) II dan Delegated Regulation (DR) yang diterbitkan Uni Eropa.
”Selain itu, pada Maret ini, Kementerian Perdagangan dijadwalkan bertemu dengan Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat (USTR). Pengubahan status Indonesia sebagai negara maju anggota WTO turut menjadi pembahasan,” ujarnya.
Pertemuan itu akan menjadi momentum untuk membahas pengubahan status itu secara intensif dengan USTR dalam perspektif yang komprehensif. ”Kami akan tindak lanjuti dengan pembahasan pengemasan-pengemasan (kebijakan) yang bisa disepakati dan memberikan benefit bagi kedua pihak,” kata Jerry.