Untuk menstabilkan lagi kondisi keuangan, BI akan menempuh tiga langkah intervensi, yaitu mengintervensi pasar spot, pasar forward, dan membeli surat berharga negara yang dilepas oleh investor.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Dampak wabah virus korona baru atau Covid-19 mulai merambah ke pasar keuangan, melemahkan nilai tukar rupiah, dan pasar saham. Bank Indonesia menyiapkan tiga strategi kebijakan moneter untuk menstabilkan pasar keuangan dan memitigasi dampak epidemi itu terhadap kondisi ekonomi dalam negeri.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo di kompleks Bank Indonesia, Jakarta, Jumat (28/2/2020) mengatakan, ketidakpastian ekonomi akibat Covid-19 ikut membuat pasar keuangan global meradang. Dalam kondisi itu, investor asing cenderung "main aman" dan ramai-ramai menarik modalnya dari pasar investasi portofolio negara-negara Asia, termasuk Indonesia.
Langkah itu berdampak pada peningkatan aliran modal asing yang keluar dari Indonesia dan menyebabkan penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). BI mencatat, per 27 Februari 2020, total aliran modal asing yang keluar dari Indonesia secara netto (nett outflow) sepanjang Februari mencapai Rp 30,8 triliun. Itu terdiri atas aliran keluar dari surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 26,2 triliun dan dari pasar saham sebesar Rp 4,1 triliun.
Sementara, secara tahunan, dari Januari ke Februari, total aliran modal asing yang keluar adalah Rp 16 triliun. Itu terdiri dari aliran modal asing yang keluar dari SBN sebesar Rp 11 triliun dan saham sebesar Rp 1,6 triliun.
Dampak dari tingginya aliran modal asing yang keluar dari Indonesia itu adalah menurunnya IHSG dan melemahnya nilai tukar rupiah. Sejak Januari ke Februari 2020, BI mencatat, harga saham turun sekitar 20 persen. Per Jumat (28/2/2020), kondisi IHSG turun 1,5 persen menuju level 5.452,704.
"Ini dampak dari virus korona, karena investor global melepas kepemilikan portofolio investasi mereka di Indonesia, baik SBN dan saham. Mereka cenderung menjual dulu, lalu ketika kondisi membaik, masuk lagi," kata Perry.
Ini dampak dari virus korona, karena investor global melepas kepemilikan portofolio investasi mereka di Indonesia, baik SBN dan saham. Mereka cenderung menjual dulu, lalu ketika kondisi membaik, masuk lagi.
BI juga mencatat, per Jumat, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS juga melemah ke angka Rp 14.234. Trennya terus melemah dalam sepekan terakhir. Sejak Januari sampai 27 Februari 2020, BI mencatat, rupiah melemah 1,08 persen.
Meski demikian, pelemahan rupiah masih lebih rendah dibandingkan pelemahan mata uang lain seperti won Korea yang depresiasinya pada periode yang sama mencapai 5,07 persen, dollar Singapura (3,76 persen), dan bath Thailand (6,42 persen).
"Kami terus memantau, tetapi perlu dicatat, di Indonesia pengaruhnya masih lebih rendah daripada negara lain di kawasan Asia," kata Perry.
Tiga cara
Untuk menstabilkan lagi kondisi keuangan, Perry mengatakan, BI akan menempuh tiga langkah intervensi. Pertama, mengintervensi transaksi pasar spot (pasar transaksi nilai tukar berjalan valuta asing) dengan menjual valuta asing untuk mengendalikan pelemahan nilai tukar rupiah.
Kedua, mengintervensi transaksi forward (berjangka) melalui penerapan kebijakan Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF). Produk baru BI ini pada dasarnya adalah instrumen hedging atau lindung nilai. Kebijakan ini memungkinkan trader melindungi nilai trading-nya dari fluktuasi nilai tukar mata uang yang tidak menguntungkan.
"Tetap ada investor asing yang masih ada di sini, dan mereka pasti mau menglindungi posisi mereka. Mereka bisa memakai DNDF," kata Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti.
Ketiga, BI dan bank-bank dalam negeri juga membeli SBN yang sudah dilepas oleh para investor asing. Tujuannya untuk menambah likuiditas pasar keuangan dalam negeri.
Sepanjang 2020, sampai 27 Februari, BI sudah membeli dari pasar sekunder dengan jumlah nilai total Rp 100 triliun. Sekitar Rp 78 triliun dibeli sejak akhir Februari, ketika Covid-19 merebak lebih signifikan.
"Pasar obligasi ini hubungannya dengan mata uang kita sangat dekat. Kalau terjadi aliran modal keluar, pasti akan langsung menyerap ke rupiah kita. Makanya, BI berusaha menjaga di situ untuk menstabilkan kembali nilai tukar kita," kata Destry.
BI memprediksi, pengaruh terbesar wabah Covid-19 akan berlangsung selama Februari sampai pertengahan Maret. Sementara, pemulihan akan mulai terjadi dari April sampai Juni.
"Kemungkinan perkiraan kami butuh waktu 6 bulan untuk pulih, dimulai dari pertengahan Maret sampai April, meski belum total pulihnya," ucap Perry.
BI memprediksi, pengaruh terbesar wabah Covid-19 akan berlangsung selama Februari sampai pertengahan Maret. Sementara, pemulihan akan mulai terjadi dari April sampai Juni.
Aksi terkonsep
Destry mengatakan, dalam kondisi seperti ini dibutuhkan aksi yang terkonsep. Tidak hanya dari BI dengan kebijakan moneternya, tetapi juga pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan, lewat berbagai kebijakan dan stimulus fiskal terhadap sektor-sektor yang paling terdampak Covid-19.
"Setiap masalah juga pasti menyimpan peluang dan hikmah, apakah nanti bisa ada substitusi impor, atau angka turis meningkat. Intinya bagaimana kita terus meminimalisir dampak itu," katanya.
BI, lanjut Destry, masih terus menghitung potensi dampak dari Covid-19 terhadap situasi ekonomi dalam negeri. Namun, BI yakin dampaknya tidak akan sampai menurunkan laju pertumbuhan ekonomi hingga di bawah 5 persen.
"Itu bisa terjadi kalau kita tidak melakukan apa-apa. Tapi, kalau kita melakukan sesuatu, stimulus di sana sini, bisa kita mitigasi. Kita tetap waspada, tapi sepertinya tidak akan terpuruk sampai krisis, selama peta kebijakan kita jelas apa yang mau dilakukan ke depan," ujarnya.