Sejumlah manfaat yang diperoleh pekerja yang kena pemutusan hubungan kerja (PHK) berkurang. Pemerintah memberi pemanis berupa Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menawarkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Program ini sebagai kompensasi atas pengurangan beberapa hak pekerja pada saat pemutusan hubungan kerja.
Namun, pemberian kompensasi itu dinilai tidak seimbang dengan hak-hak buruh yang hilang saat di-PHK. Apalagi, program JKP tetap dibebankan pada iuran yang dipotong dari upah pekerja, dengan besaran nominal yang terus berkurang setiap bulannya.
Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan diatur dalam Pasal 46A-46E draf RUU Cipta Kerja. Pasal itu menyebutkan, pekerja atau buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) berhak mendapat jaminan kehilangan pekerjaan (JKP). Manfaat dari program JKP adalah dalam bentuk pemberian uang tunai (cash benefit), pelatihan dan sertifikasi, serta fasilitasi penempatan kerja untuk buruh yang dipecat.
Draf RUU Cipta Kerja tidak menyebutkan skema dan besaran iuran JKP yang diatur sebesar persentase tertentu dari upah pekerja. RUU juga tidak mengatur besaran uang tunai yang berhak didapat pekerja saat di-PHK. Semua ketentuan lebih lanjut terkait besaran iuran itu diatur dengan peraturan pemerintah.
Direktur Perencanaan Strategis dan Teknologi Informasi BPJamsostek Sumarjono mengatakan, pemerintah belum memiliki skema yang jelas tentang penerapan JKP. BPJamsostek sempat dilibatkan dalam penyusunan draf RUU, tetapi gambaran program itu belum dibahas mendetail. Sejauh ini, ujarnya, beban iuran untuk program jaminan baru itu akan dibebankan pada pekerja.
Saat ditanya perihal peran perusahaan untuk urun iuran, Sumarjono mengatakan, masih dibahas. ”Masih dibahas. Kalau melihat contoh di banyak negara, seharusnya pekerja dan pemberi kerja sama-sama mengiur, ada juga negara yang pemerintahnya ikut mengiur. Kalau di kita, masih dalam pembahasan, monggo nanti pemerintah mau seperti apa skemanya. Kami usulkan melihat kajian sejumlah negara,” kata Sumarjono di Jakarta, Jumat (21/2/2020).
Kami usulkan melihat kajian sejumlah negara.
Jumlah hak uang tunai yang diterima pekerja korban PHK juga tidak akan sama, tetapi terus turun selama enam bulan. ”Jadi, upahnya diganti selama enam bulan, tetapi biasanya (jumlahnya) menurun. Kami berikan kepada pekerja, dengan catatan dia cepat mencari pekerjaan baru. Mereka harus melamar pekerjaan dulu, ada buktinya, baru manfaat itu bisa dipakai, agar tidak ada potensi fraud atau penipuan,” kata Sumarjono.
Hal ini turut dibahas dalam rapat Tim Koordinasi Pembahasan dan Konsultasi Publik Bidang Ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja di Jakarta, kemarin. Rapat ini adalah rapat kedua tim bentukan pemerintah yang terdiri dari perwakilan unsur pengusaha dan buruh untuk membahas pasal per pasal dalam draf RUU Cipta Kerja. Dari lima kluster bidang ketenagakerjaan, tinggal satu kluster yang belum dibahas, yakni mengenai PHK.
Ketua Bidang Politik Serikat Pekerja Nasional Puji Santoso mengatakan, kompensasi yang ditawarkan pemerintah tidak seimbang dengan hak-hak pekerja yang dihilangkan melalui RUU Cipta Kerja. ”Tidak seimbang, karena yang berkurang jauh lebih banyak daripada yang ditawarkan. Apalagi, dengan melihat skema dari pemerintah yang belum jelas,” kata Puji.
Sejumlah hak pekerja berkurang, antara lain uang penggantian hak yang berkurang dari maksimal 10 bulan upah menjadi delapan bulan upah, uang penghargaan masa kerja yang tidak lagi diatur di undang-undang melainkan berdasarkan kesepakatan pengusaha dan buruh, serta beberapa hak lain seperti pemberian pesangon dua kali untuk kasus-kasus tertentu.
Pertengahan Februari, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah mengatakan, JKP akan menjadi tambahan manfaat bagi para pekerja. JKP dan sweetener sebesar lima kali upah tersebut adalah kompensasi sebagai pengganti komponen pesangon yang berkurang dalam RUU Cipta Kerja.
”Hal ini terkait dengan perlindungan sosial. Akan ada program baru, tambahan layanan manfaat untuk pekerja kita yang di-PHK,” kata Ida.
Wakil Ketua Satuan Tugas (Satgas) Omnibus Law Cipta Kerja dari kalangan pengusaha, Shinta Kamdani, menyampaikan, persoalan hubungan industrial perlu dilihat secara komprehensif. Shinta tidak menampik prinsip easy hire easy fire atau gampang direkrut gampang dipecat sangat jelas dalam draf RUU Cipta Kerja.
Namun, menurut dia, hal itu dibutuhkan untuk menarik investor. Sebab, selama ini dalam hubungan industrial, pengusaha sangat sulit memecat pekerjanya.
”Pesangon kita ini paling tinggi, kita masuk tiga teratas negara dengan paket pesangon tertinggi. Dengan hubungan industrial selama ini, kita mau pecat orang itu susah setengah mati. Kalau harus bayar uang PMTK (pesangon) sebesar itu, tidak ada yang berani pecat. Tentu akhirnya harus ada kompensasi dan kompensasi ini harus beralasan,” katanya. (AGE)