Setelah dihantam kekeringan tahun lalu, sebagian petani di pantai utara Jawa Barat kini dihantui banjir dan serangan hama. Namun, selain ketidakpastian cuaca, perubahan kebijakan juga rentan memperburuk nasib mereka.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·4 menit baca
Sebagian sawah di Desa Suranenggala Kidul, Kecamatan Suranenggala, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Senin (10/2/2020), bak sungai coklat. Pemandangan hijau padi nyaris tak terlihat. Padi berumur sekitar setengah bulan layu terendam. Akarnya menghitam, busuk. Sejumlah petani menggali tanggul agar air bisa mengalir. ”Padi saya mati terendam. Rugi sampai Rp 4 juta,” kata Kartaman (55), petani Desa Suranenggala Lor yang sawahnya kebanjiran.
Padi di lahan sekitar 7.000 meter persegi itu rusak terendam banjir dari Kamis hingga Sabtu pekan lalu seiring tingginya curah hujan dan buruknya drainase. Akibatnya, ia harus membeli lagi sekitar 500 ikat benih padi senilai Rp 2,5 juta, belum termasuk biaya buruh tanam. Katanya, ia masih beruntung. Biasanya, jika banjir meluas, harga benih bisa melonjak dari Rp 5.000 menjadi Rp 10.000 per ikat karena mesti didatangkan dari Indramayu.
Meski ”beruntung”, nasibnya sebenarnya buntung. Jika mengulang tanam dari bibit, ia harus menunggu lebih dari sepekan. Sementara petani setempat mengejar waktu agar bisa bertani pada musim gadu, April-September. Dengan demikian, tanaman petani pada musim kemarau tetap bisa diairi.
”Musim gadu lalu, saya hanya dapat 5 kuintal gabah kering giling (GKG) karena kekeringan. Padahal, normalnya produksi padi 3 ton GKG,” ujar bapak empat anak ini. Biaya tanam saat musim gadu juga melonjak hingga Rp 10 juta per hektar, lebih tinggi dibandingkan musim rendeng yang sekitar Rp 7 juta per hektar.
Oleh karena itu, menurut Damudi, Ketua Kelompok Tani Pelambangan Desa Suranenggala Kidul, banjir yang melanda 250 hektar sawah di daerahnya saat ini melengkapi derita petani. Kebanjiran melanda saat musim hujan dan kekeringan terjadi ketika kemarau.
Banjir juga mengancam 16 hektar padi di Blok Krapyak, Desa Panguragan Kulon, Kecamatan Panguragan. Kalau saja musim tanam rendeng tidak mundur dari November ke Januari, tanaman padi di daerah itu bisa lebih tinggi dan tidak tergenang. ”Tetapi, hujan baru turun awal tahun, petani pun harus membasmi tikus dulu sebelum tanam,” kata Sakuri (36), petani Blok Krapyak. Perubahan iklim telah ”merusak” jadwal tanam. Katanya, inilah risiko petani. Dia pasrah.
Di Karawang, menurut Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Desa Ciranggon, Kecamatan Majalaya, Asep Saepudin (39), debit irigasi yang minim membuat sejumlah petani menunda pengolahan sawah hingga dua bulan. Semestinya Oktober sudah mulai masuk musim hujan, tetapi hingga sekarang belum ada air. Hujan belum merata di Karawang.
Luka Sakuri dan Damudi tak hanya itu. Setelah sulit menanam, ketakutan mereka rentan datang saat panen April-Mei mendatang. ”Biasanya harga jatuh di bawah Rp 3.500 per kg untuk gabah kering panen (GKP). Paling tinggi kepala empat (Rp 4.000-an per kg),” kata Damudi.
Anjloknya harga dipicu turunnya mutu gabah. Musim hujan menyebabkan kadar air padi tinggi sehingga Perum Bulog sulit menerima gabah itu. ”Harga jatuh itu sudah pasti. Kami terpaksa menjual ke tengkulak karena butuh ongkos tanam musim gadu,” ujarnya.
Gudang penuh
Kepala Bulog Cabang Cirebon Topan Ruspayandi memprediksi, harga gabah petani bakal anjlok saat panen. Alasannya, gudang Bulog Cirebon yang berkapasitas 111.832 ton hampir penuh. Pekan lalu, stok di gudang mencapai 88.000 ton. ”Hingga Mei nanti, diprediksi hanya ada ruang (ketersediaan gudang) untuk 34.000 ton beras. Penyerapan bisa tidak maksimal,” katanya.
Padahal, panen padi di wilayah kerja Bulog Cirebon mencapai 811.465 ton beras per tahun. Dengan asumsi penduduk 4,8 juta jiwa dan konsumsi per kapita 83,95 kilogram per tahun, konsumsi di wilayah Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Kuningan, dan Majalengka mencapai 400.658 ton. Artinya, pihaknya hanya menyerap kurang dari 10 persen surplus produksi beras di Cirebon dan sekitarnya. Padahal, jika gudang kosong, serapan mencapai lebih dari 100.000 ton beras per tahun.
Penyaluran beras terhambat karena Bulog tidak lagi memasok beras untuk program beras sejahtera (rasta). Empat tahun terakhir, penyerapan gabah/beras produksi dalam negeri juga terus turun. Dengan kondisi pasar yang relatif jenuh, termasuk gudang yang terisi, penyerapan dikhawatirkan seret sehingga harga berpotensi anjlok di bawah ongkos produksi. Dalam situasi itu, petanilah penanggungnya.
Penyaluran beras terhambat karena Bulog tidak lagi memasok beras untuk program rastra.
Ketua Gapoktan Sri Jaya Makmur, Amrin, berharap bantuan pangan nontunai (BPNT) bisa memberdayakan petani dan penggilingan setempat sehingga hasil panen petani terbeli. Apalagi, dengan stok 90 ton gabah dan 50 ton beras, saat ini pihaknya kesulitan menjual beras. Bagaimanapun, solusinya, ia berharap BPNT dapat menghidupi petani, penggilingan, dan Bulog.
Bagi Komar (49), salah seorang penerima BPNT di Panguragan, program itu membantu keluarganya mengurangi pengeluaran bulanan. Dengan bantuan itu, dia bisa membeli beras untuk 12 hari. ”Berasnya juga lumayan bagus. Kalau raskin dulu, ada kutunya,” kata bapak dua anak ini.
Di tengah perubahan lanskap perberasan nasional, Kartaman, Damudi, Asep Saepudin, dan Sakuri berharap tanamannya terbebas dari banjir. Harga jualnya tak lagi anjlok saat panen. Mereka tidak ingin memikul beban ganda akibat ketidakpastian cuaca dan perubahan kebijakan.