Selain menekan perdagangan dari dan ke China, wabah virus korona membuka peluang bagi Indonesia untuk mengisi pasar. Sayangnya, sisi produksi belum terbangun dengan baik. Industri pun masih bergantung bahan baku impor.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI/C ANTO SAPTOWALYONO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tak hanya orang, arus barang dari dan ke China terganggu akibat merebaknya virus korona tipe baru. Namun, ada peluang bagi industri nasional untuk mengisi pasar yang terdampak, baik di dalam maupun di luar negeri.
Pelaku usaha perikanan, misalnya, menilai ada peluang untuk mengisi pasar produk-produk perikanan yang selama ini dipasok oleh China. Ketua Harian Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia Ady Surya, di Jakarta, Kamis (30/1/2020), berpendapat, China adalah kompetitor besar bagi Indonesia untuk ekspor produk ikan kaleng, terutama ke pasar Afrika.
Peluang Indonesia dinilai besar untuk menggantikan atau substitusi atas produk perikanan yang selama ini dipasok China. ”Tinggal bagaimana intelijen pasar bisa membaca peluang ini,” kata Ady.
Akan tetapi, menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) Budhi Wibowo, belum ada tanda-tanda produksi perikanan China turun. Selain itu, Indonesia juga mengekspor produk perikanan ke China, seperti kuniran, swangi, tonang, gulama, dan kakap merah. Wabah virus korona justru dikhawatirkan menekan permintaan dari China.
Di sisi lain, Indonesia mengimpor bahan baku sarden dan makerel dari China untuk diolah jadi produk ikan kaleng. Kebutuhannya mencapai 325.000 ton per tahun dan sekitar 20 persen di antaranya diimpor dari China.
Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiyono, peluang untuk menggarap pasar ekspor perlu waktu. Namun, situasi ini bisa jadi momentum untuk membenahi industri pengolahan dalam negeri.
Ketergantungan
Dampak virus korona diyakini merembet ke perdagangan dan industri. Sayangnya, pelaku industri Tanah Air masih bergantung pada bahan baku impor dari China. Menurut pendiri dan ekonom senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Hendri Saparini, ketergantungan itu mengganggu Indonesia di sisi produksi.
Secara keseluruhan, sekitar 70 persen impor Indonesia berupa bahan baku dan penolong. Oleh karena sisi produksi belum terbangun, butuh waktu bagi Indonesia untuk mengoptimalkan peluang tersebut.
”Ada industri yang hulunya ada, intermediate (antara)-nya tidak ada, hilirnya ada. Jadi, Indonesia ekspor, lalu impor lagi, baru ke hilir. Ada juga yang hulu maupun antara tidak ada, tetapi ada sisi hilirnya. Akibatnya, banyak barang harus diimpor,” tutur Hendri.
Wabah virus korona jadi pengingat untuk membangun industri sekaligus mengurangi ketergantungan impor.
Menurut Ketua Komite Tetap Pengembangan Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Handito Joewono, wabah virus korona diperkirakan berdampak pada penundaan ekspor dalam 2-3 bulan ke depan. Perdagangan Indonesia-China diperkirakan turun meski sifatnya hanya penundaan. Situasi itu diharapkan tidak berdampak berarti terhadap kinerja ekspor impor Indonesia.