Pekerja Masih Khawatir
Pemerintah berupaya menciptakan iklim investasi yang menarik. Namun, pekerja atau buruh mengkhawatirkan aturan yang diskiriminatif.
JAKARTA, KOMPAS--Pekerja dan buruh khawatir pokok-pokok hak pekerja akan terkikis dalam Rancangan Undang-undang Cipta Lapangan Kerja. Pekerja juga mengkhawatirkan aturan dalam RUU itu diskriminatif.
Sementara, pelaku usaha berharap omnibus law Cipta Lapangan Kerja dapat mengatasi masalah regulasi yang tumpang tindih.
Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Kahar S Cahyono mengakui, hingga kini pihaknya belum menerima draf RUU tersebut. Namun, pokok-pokok perihal hak pekerja terkait upah minimum, pemutusan hubungan kerja, dan peningkatan perlindungan pekerja, sudah menimbulkan kekhawatiran. Sebab hak-hak buruh atau pekerja dikurangi.
Perihal upah per jam, tambah Kahar, menimbulkan dua skema pengupahan, yakni upah bulanan dan per jam. “Hal itu tidak adil karena justru membuka diskriminasi bagi pekerja di sektor-sektor yang disebut baru," kata Kahar.
Hal itu tidak adil karena justru membuka diskriminasi
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menyampaikan, ada dua pokok kebijakan upah minimum RUU Cipta Lapangan Kerja, yaitu upah minimum tidak turun dan tidak dapat ditangguhkan serta kenaikannya memperhitungkan pertumbuhan ekonomi daerah. Disebutkan juga soal skema upah per jam untuk menampung jenis pekerjaan tertentu dan baru, terutama ekonomi digital. Namun, pengaturan itu tidak menghapus ketentuan upah minimum (Kompas, 21/1/2020).
Kahar menekankan, jenis pekerjaan baru itu belum jelas batasannya.
Isu lain yang disorot adalah jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) bagi pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) tanpa menambah beban iuran bagi pekerja maupun perusahaan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah asal pendanaan.
Selama ini, Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur pesangon atau penghargaan masa kerja, maksimal 32 bulan. Jika JKP merupakan fasilitas tambahan atau tidak menghilangkan ketentuan yang sudah ada, menurut Kahar, lebih baik ketentuan yang sudah ada saja yang dipastikan dilakukan perusahaan. Sebab, selama ini perusahaan memiliki banyak alasan untuk tidak memenuhi aturan PHK tersebut.
Baca juga : https://kompas.id/baca/ekonomi/2020/01/21/soal-omnibus-law-ketenagakerjaan-pemerintah-akomodasi-semua-pihak/
Kahar menambahkan, pada dasarnya pekerja mendukung investasi masuk ke Indonesia untuk membuka lapangan kerja sebanyak-banyaknya. Namun, pemerintah harus tetap melindungi hak-hak pekerja, bukan mengurangi.
Daya saing investasi
Sementara, Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri Indonesia Sanny Iskandar, Selasa, menyebutkan, poin yang menjadi perhatian pelaku industri adalah kemudahan mengurus perizinan, kepastian hukum, dan hubungan industrial atau ketenagakerjaan yang kondusif.
"Perizinan yang dimaksud khususnya terkait izin lokasi, lingkungan, bangunan gedung, dan pengadaan lahan," ujar Sanny yang juga anggota Satuan Tugas Omnibus Law.
Menurut Sanny, sinkronisasi peraturan perundangan akan menjamin kemudahan dan kepastian bagi pelaku usaha yang akan merealisasikan investasi di daerah.
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Adhi S Lukman menyampaikan, pihaknya menyambut baik dan mengapresiasi upaya pemerintah mencari terobosan untuk meningkatkan daya saing, menarik investor, dan menciptakan lapangan kerja. "Dengan omnibus law, diharapkan hambatan regulasi bisa dihilangkan dan koordinasi antarkementerian lembaga serta pemerintah daerah bisa lebih baik," kata Adhi.
Metode omnibus law atau sapu jagat ini menyinkronkan sejumlah regulasi yang tumpang tindih dan bertentangan.
Sementara, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perindustrian Johnny Darmawan, menyatakan, omnibus law berkaitan dengan upaya membangun industri atau ekonomi. Dengan mengatasi tumpang tindih aturan, iklim investasi di Indonesia diharapkan lebih menarik.
Sebagaimana disampaikan Kepala Ekonom Bank BNI Kiryanto, ada syarat agar sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan moneter dan fiskal berjalan efektif. Syarat yang tidak ringan itu adalah stabilitas politik, kepastian hukum, serta iklim ekonomi dan investasi yang kondusif.
Baca juga : https://kompas.id/baca/ekonomi/2020/01/21/stabilitas-untuk-hadapi-tekanan-global/
Kesiapan ini untuk menghadapi kondisi perekonomian global yang masih tidak menentu. Dana Moneter Internasional (IMF) merilis proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2020 sebesar 3,3 persen. Kendati membaik dibandingkan 2019 yang diperkirakan 2,9 persen, namun proyeksi ini direvisi 0,1 persen dari rilis Oktober 2019 yang sebesar 3,4 persen.
Sementara, Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menekankan, kendati ruang untuk mendorong ekspor berat, namun ekspor tetap penting bagi Indonesia. Cara yang bisa dilakukan antara lain mendorong investasi yang berorientasi ekspor tetap di Indonesia. Langkah lain, meningkatkan kualitas barang yang diekspor. (NAD/CAS/KRN/DIM/IDR)