Ada lima bendungan yang akan dibangun tahun ini. Kelima bendungan itu memiliki beragam fungsi, antara lain mengairi lahan pertanian irigasi dan mendukung pengendalian banjir.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Infrastruktur bendungan masih perlu banyak dibangun di Indonesia. Bendungan terutama dibutuhkan untuk menjamin ketersediaan air untuk lahan pertanian.
Tahun ini, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyiapkan 5 bendungan untuk dibangun. Kelima bendungan itu adalah Tiu Suntuk (Nusa Tenggara Barat), Jragung (Jawa Tengah), Budong-Budong (Sulawesi Barat), Ameroro (Sulawesi Tenggara), dan Sepaku Semoi (Kalimantan Timur).
Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, Rabu (22/1/2020), di Jakarta, menyampaikan, Indonesia masih memerlukan banyak bendungan. Untuk manfaat pengairan lahan pertanian saja, luas lahan irigasi teknis yang belum dijamin airnya dari bendungan masih besar.
“Kita sekarang memiliki 231 bendungan dan itu baru bisa mengairi 11 persen lahan irigasi teknis. Masih ada sekitar 80 persen dari 7,3 juta hektar lahan pertanian yang masih belum dijamin airnya dari bendungan. Jadi masih banyak kebutuhannya,” kata Basuki
Basuki mencontohkan, Korea Selatan yang luas wilayahnya tidak lebih besar dari Jawa Tengah memiliki ratusan bendungan. Sementara, wilayah Indonesia jauh lebih besar dengan kebutuhan yang beragam, antara lain mengairi lahan pertanian, air baku perkotaan, pembangkit listrik, dan pengendalian banjir.
Oleh karena itu, pada 2020-2024, Kementerian PUPR akan membangun 15 bendungan baru. Pembangunannya akan dimulai pada 2021 sampai 2023, sebanyak 5 bendungan setiap tahun.
Namun, proses membangun bendungan tidak mudah. Selain persyaratan teknis yang ketat, masing-masing bendungan memiliki tantangan atau masalah sosialnya sendiri. Persoalan yang muncul, di antaranya, penolakan warga sekitar atau di lokasi genangan terdapat situs sejarah.
Dengan potensi masalah sosial tersebut, menurut Basuki, pembangunan bendungan menerapkan pendekatan partisipatoris, bukan dari atas ke bawah. Oleh karena itu, pembangunan bendungan memerlukan waktu cukup panjang baik untuk proses konstruksi maupun sosialnya.
“Masing-masing daerah kan sosial budayanya beda-beda. Kalau pendekatan top-down kan langsung perintah dan lalu digusur. Untuk sekarang tidak bisa,” ujar Basuki.
Hal itulah yang menyebabkan program pembangunan 9 bendungan, sebagai bagian dari pembangunan 65 bendungan pada 2015-2019, digeser ke 2020. Selain itu, sampai saat ini dari 9 bendungan itu, yang dipastikan dapat dibangun tahun ini hanya 5 bendungan, sementara 4 lainnya ditolak oleh sekitarnya.
Dengan demikian, dari program pembangunan 65 bendungan, sebanyak 61 bendungan akan dibangun. Ditargetkan, seluruh bendungan yang merupakan bagian dari program 2015-2019 akan selesai pada 2023.
Ditolak
Kepala Pusat Bendungan Kementerian PUPR Ni Made Sumiarsih mengatakan, dari 4 bendungan yang belum dapat dibangun tahun ini disebabkan adanya penolakan dari masyarakat, termasuk pemerintah daerah setempat. Namun demikian, Bendungan Mbay di Nusa Tenggara Timur yang awalnya mendapatkan penolakan sampai saat ini masih dalam proses investigasi.
“Untuk Bendungan Mbay masih dimungkinkan untuk ditandatangani kontrak pembangunannya akhir tahun ini,” kata Sumiarsih.
Sementara, untuk program 5 bendungan tahun ini direncanakan akan tanda tangan kontrak pada Maret mendatang. Tahun ini anggaran yang disiapkan untuk membangun bendungan baik yang baru maupun yang masih konstruksi sekitar Rp 15 miliar. Anggaran itu termasuk untuk membangun embung. (NAD)