Batasan nilai barang yang bebas bea impor sebesar 3 dollar AS mulai Januari 2020. Ada peluang bagi produk dalam negeri untuk membidik pasar domestik.
Oleh
MEDIANA/KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Langkah mengerem laju impor barang semestinya diikuti dengan peningkatan daya saing produk dalam negeri. Kualitas produk dalam negeri mesti meningkat agar bisa bersaing.
Upaya mengerem impor barang ini dilakukan pemerintah dengan cara menurunkan batasan nilai pembebasan bea masuk untuk impor barang kiriman. Nilai barang kiriman impor bebas bea masuk yang sebelumnya 75 dollar AS turun menjadi 3 dollar AS mulai Januari 2020.
Pemerintah juga merasionalisasi tarif pungutan pajak dalam rangka impor yang terdiri dari bea masuk 7,5 persen, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen, dan Pajak Penghasilan (PPh) badan 0 persen. Dengan demikian, setiap impor barang kiriman dikenai tarif pajak 17,5 persen.
Penurunan batas nilai pembebasan bea masuk ini merevisi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112 Tahun 2018 tentang ketentuan impor barang kiriman. Barang yang dikenai aturan ini dibeli secara dalam jaringan dan luar jaringan, yang dikirim ke Indonesia melalui pelabuhan dan kantor pos.
Peneliti di Center of Innovation and Digital Economy Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, berpendapat, kebijakan itu timbul akibat arus impor barang dari luar negeri melalui platform perdagangan secara elektronik yang cukup deras. Pemerintah tidak bisa mengandalkan produk atau merek lokal untuk bersaing, terutama dari sisi harga.
”Pertanyaan kritis selanjutnya, apakah setelah ditambah bea masuk, produk dalam negeri bisa bersaing? Saya rasa jawabannya cenderung susah bersaing. Perusahaan lokal susah bersaing dari sisi modal, sedangkan konsumen cenderung tetap rasional terhadap harga,” kata Nailul, di Jakarta, Kamis (26/12/2019).
Perusahaan lokal susah bersaing dari sisi modal.
Pendiri Pusat UKM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Nining I Soesilo, berpendapat, tidak semua usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) punya pola pikir untuk menyasar pasar ekspor. Sejumlah UMKM berpandangan, pasar domestik masih luas dan mesti digarap.
”Kalau memang mendorong UMKM ekspor, pemerintah perlu menyiapkan standardisasi produk lebih dulu,” katanya.
Founder dan CEO Tokopedia William Tanuwijaya berpendapat, kebijakan itu merupakan langkah awal yang tepat untuk mengurangi defisit neraca perdagangan yang belakangan terus memburuk.
Kebijakan itu tidak menentang barang impor masuk ke Indonesia. Namun, menurut dia, kebijakan itu bisa mengatur agar produk impor masuk bukan melalui transaksi ritel langsung dari pedagang luar negeri yang tidak memberikan dampak ekonomi sama sekali kepada Indonesia.
Tetap impor
Aryo (35), wirausaha asal Yogyakarta, mengaku sebagai penggemar budaya Korea Selatan atau K-Pop. Dia pernah membeli pernak-pernik idolanya melalui laman Fanspage dan Yes24.
”Kalau sudah hobi, konsumen tetap akan memburu barang buatan atau merek luar negeri,” tutur Aryo.
Hal serupa disampaikan Kristian (37), karyawan swasta asal Jakarta yang memiliki hobi fotografi dan videografi, yang kerap membeli aksesori kamera yang tidak dijual di Indonesia. ”Kebijakan itu akan membuat konsumen lebih ribet, tetapi tetap akan mencari walaupun impor,” katanya.
Pada Senin (23/12/2019), Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi menyampaikan penurunan batas nilai pembebasan bea masuk dalam rangka menjawab tuntutan industri dan pelaku usaha. Pemerintah diminta melindungi produk-produk dalam negeri serta menciptakan kesetaraan antara pelaku usaha perdagangan dalam jaringan dan luar jaringan.
”Pengusaha banyak memberikan masukan bahwa mereka mengalami persaingan yang ketat. Terlebih setelah perang dagang AS-China semakin meluas dan berdampak ke industri domestik,” kata Heru.
Berdasarkan dokumen impor Ditjen Bea dan Cukai, kegiatan e-dagang berupa impor barang kiriman meningkat dari 6,1 juta paket pada 2017 menjadi 48,69 juta paket pada 2019. Adapun nilai impor barang kiriman naik dari 290 juta dollar AS menjadi 673,87 juta dollar AS. (MED/KRN)