Indonesia mengimpor minyak 26,259 miliar dollar AS pada 2018. Mengacu pada neraca pembayaran Indonesia, minyak adalah salah satu penyumbang defisit transaksi berjalan.
Oleh
ARIS PRASETYO/NINA SUSILO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menargetkan penghematan devisa sekitar 4,8 miliar dollar AS atau Rp 67 triliun melalui mandatori biosolar B-30. Biosolar B-30 adalah produk solar bersubsidi dicampur 30 persen biodiesel dalam setiap liter.
Kadar pencampuran biodiesel terus ditingkatkan dalam beberapa tahun mendatang.
Presiden Joko Widodo menyampaikan, setelah kebijakan B-20 yang berakhir tahun ini, kementerian terkait dan PT Pertamina (Persero) diinstruksikan untuk menyiapkan B-40 pada 2020 dan B-50 pada awal 2021. Kebijakan B-30 yang dilaksanakan secara konsisten dapat menghemat devisa sekaligus meningkatkan permintaan minyak sawit (CPO) di pasar domestik.
”Kita berusaha mencari sumber-sumber energi terbarukan dan harus melepaskan diri dari ketergantungan pada energi fosil. Sebab, suatu saat nanti energi fosil pasti habis,” ujar Presiden dalam peluncuran solar B-30 di SPBU Pertamina di Jalan MT Haryono, Jakarta Timur, Senin (23/12/2019).
Percepatan penerapan biosolar, lanjut Presiden, akan mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor bahan bakar minyak (BBM). Potensi sawit dimanfaatkan menjadi bahan bakar nabati sebagai pengganti solar. Apalagi, Indonesia adalah negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia.
”Penghematan devisa dari pengurangan impor bahan bakar sekitar 4,8 miliar dollar AS pada 2020 akan sangat berguna untuk mengurangi defisit transaksi berjalan. Jika penerapan biosolar sudah memasuki B-50, penghematan diyakini lebih besar lagi,” kata Presiden.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Senin, yakni Rp 13.978 per dollar AS, maka 4,8 miliar dollar AS setara Rp 67 triliun.
Bahan baku
Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) MP Tumanggor menyebutkan, Indonesia memiliki bahan baku yang sangat cukup untuk memproduksi biodiesel dalam memenuhi kebutuhan solar B-30. Bahkan, katanya, pasokan biodiesel untuk B-100 (bahan bakar minyak dari biodiesel 100 persen) juga cukup. Saat ini, produksi CPO Indonesia 46 juta ton per tahun.
”Kebijakan B-30 pada 2020 membutuhkan biodiesel 9,6 juta ton. Apabila B-100 diterapkan pada 2045, kebutuhannya menjadi sekitar 30 juta ton,” kata Tumanggor.
Dari sisi pemasok, Pertamina telah menyiapkan 28 terminal BBM sebagai tempat pencampuran biodiesel ke dalam solar. Penjualan perdana solar B-30 sudah dilakukan di sejumlah SPBU Pertamina di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta sejak awal November. Pertamina menargetkan semua SPBU sudah bisa menjual solar B-30 mulai awal 2020.
”Untuk mengamankan pasokan biodiesel, kami sudah menandatangani nota kerja sama pengadaan dengan 18 badan usaha produsen biodiesel yang ditunjuk pemerintah,” ujar Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati.
Saat mengumumkan kelayakan uji solar B-30 beberapa waktu lalu, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, ada beberapa syarat yang harus diperhatikan agar bahan bakar itu aman bagi mesin kendaraan.
Syarat itu, antara lain, biodiesel harus disimpan dalam wadah kedap udara sebelum dicampur dengan solar. Untuk memperoleh hasil campuran yang optimal, penggunaan alat dan metode pencampuran mesti sesuai standar pemerintah.
”Tim penguji juga menyarankan penggantian filter bahan bakar lebih awal, khusus kendaraan yang baru pertama kali memakai solar B-30 tersebut,” ujar Dadan.
Pemanfaatan solar B-30 diatur berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Dalam aturan itu, kebijakan pencampuran biodiesel dimulai sejak 2015 dengan kadar 15 persen (B-15). Mulai 2016, kadar pencampuran dinaikkan menjadi B-20 dan menjadi B-30 pada 1 Januari 2020.