Kapan penertiban subsidi ditegakkan? Membiarkan subsidi tak tepat sasaran di tengah neraca perdagangan yang terus-terusan defisit bukanlah pilihan yang tepat.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Apa hal yang belum mampu diselesaikan Presiden Joko Widodo dan jajarannya pada periode 2014-2019? Di sektor energi, masih ada pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai, yaitu menertibkan penyaluran subsidi elpiji 3 kilogram.
Tabung elpiji 3 kilogram (kg) atau dikenal sebagai ”gas melon” di masyarakat (karena warnanya hijau mirip buah melon) adalah bagian dari program konversi minyak tanah ke gas. Program ini diluncurkan pada 2007. Sejak saat itu, harga gas bersubsidi ini ditetapkan Rp 4.250 per kg dan tak berubah hingga kini. Padahal, harga keekonomian gas (tanpa subsidi) sekitar Rp 12.500 per kg.
Artinya, ada selisih sekitar Rp 8.000 per kg yang ditanggung negara lewat subsidi.
Apabila per tahun ada kuota 6 juta ton elpiji 3 kg, maka negara harus menyediakan subsidi Rp 48 triliun. Padahal, kebutuhan elpiji terus meningkat setiap tahun. Penyebabnya, perluasan program konversi yang sampai sekarang belum menyentuh seluruh wilayah Indonesia, seperti Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara. Pertumbuhan keluarga baru dan usaha mikro turut menyumbang peningkatan konsumsi elpiji bersubsidi.
Sejak dikenalkan ke masyarakat, model pemberian subsidi adalah diberikan pada jenis komoditas, bukan diberikan langsung kepada masyarakat yang berhak menerima. Akibatnya, ada dua harga pada satu komoditas yang sama, yaitu harga elpiji bersubsidi dan elpiji nonsubsidi. Elpiji nonsubsidi dijual dalam tabung berwarna biru dan merah muda keunguan.
Selama ada dua harga berbeda untuk satu jenis komoditas, maka akan memancing penyelewengan. Kita kerap mendengar berita aparat menangkap dan membongkar jaringan pengoplos elpiji. Oknum tak bertanggung jawab tersebut mencampur elpiji bersubsidi dengan nonsubsidi, kemudian dijual sebagai elpiji nonsubsidi.
Penjualan ”gas melon” memang tak dibatasi. Siapa pun bisa membelinya, mulai dari masyarakat bermobil mewah sampai yang tinggal di permukiman kumuh. Mulai dari masyarakat yang benar-benar memerlukan subsidi, sampai masyarakat yang sebenarnya sudah tak perlu barang subsidi. Padahal, di tabung elpiji 3 kg itu ada tulisan ”hanya untuk masyarakat miskin”.
Rasanya jadi tak adil. Namun, apa daya, pemerintah yang seharusnya mengatur penyaluran subsidi tak kunjung bergegas menertibkan. Distribusi tertutup menjadi wacana yang setiap tahun digulirkan, tetapi hingga kini masih jauh panggang dari api.
Distribusi tertutup adalah menjual elpiji bersubsidi hanya kepada masyarakat yang memegang kartu identitas khusus. Kartu ini menandai hanya mereka yang berhak membeli elpiji bersubsidi.
Belakangan, DPR sempat mengingatkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengenai penertiban subsidi elpiji 3 kg tersebut. Sayangnya, ada kesan saling lempar tanggung jawab. Kementerian Sosial disebut sebagai institusi yang menangani data penerima subsidi. Sementara Kementerian Keuangan disebut bertanggung jawab menyalurkan subsidi langsung ke masyarakat penerima subsidi. Akhirnya, sampai sekarang tak ada kejelasan nasib penertiban subsidi itu.
Elpiji 3 kg sebagai komoditas impor yang harga jualnya disubsidi adalah bagian dari kepingan besar defisit pada neraca perdagangan nasional. Badan Pusat Statistik mencatat, neraca perdagangan Januari-November 2019 defisit 3,105 miliar dollar AS atau Rp 43,4 triliun. Rinciannya, neraca perdagangan migas defisit 8,309 miliar dollar AS, sedangkan neraca perdagangan nonmigas surplus 5,203 miliar dollar AS.
Lalu, kapan penertiban subsidi ditegakkan? Membiarkan subsidi tak tepat sasaran di tengah neraca perdagangan yang terus-terusan defisit bukanlah pilihan yang tepat. (Aris Prasetyo)