Konsep pembangunan jalan tol berikut pengembangan kawasan bisa jadi alternatif pengusahaan jalan tol. Investasi jalan tol dinilai akan lebih menguntungkan jika dibarengi dengan pengembangan kawasan sekitarnya.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konsep pembangunan jalan tol bersama pengembangan kawasan bisa menjadi alternatif pengusahaan jalan tol yang menarik minat badan usaha. Namun, sampai saat ini kemungkinan pengembangan bisnis terkait jalan tol yang bernilai tambah baru untuk tempat istirahat dan pelayanan.
Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Danang Parikesit, di Jakarta, akhir pekan lalu, mengatakan, saat ini industri jalan tol menghadapi tantangan, yakni pemain jalan tol yang belum banyak serta sumber pembiayaan yang terbatas. Padahal, untuk lima tahun ke depan, pemerintah menargetkan akan membangun 2.500 kilometer jalan tol baru dengan kebutuhan investasi Rp 375 triliun sampai Rp 425 triliun serta biaya pembebasan lahan sampai Rp 100 triliun.
”Kita bekerja pada lingkungan bisnis yang tidak berkembang. Meski ada pemain-pemain baru, jumlahnya tidak besar. Demikian soal pembiayaan, selama lima tahun lalu dana yang bisa disediakan dari bank Himbara untuk jalan tol rata-rata Rp 70 triliun per tahun, tidak bisa lebih dari itu,” ujar Danang.
Oleh karena itu, lanjutnya, pemerintah berharap agar semakin banyak swasta yang masuk atau berinvestasi di jalan tol. Meski jumlahnya sedikit, beberapa pemain baru yang masuk di bisnis jalan tol ada yang bergerak di sektor properti dan sektor konstruksi.
Di sisi lain, pembangunan jalan tol terkait erat dengan pengembangan kawasan di sekitar koridor jalan tol. Badan usaha jalan tol telah melihat bahwa berinvestasi membangun jalan tol akan lebih menguntungkan jika dibarengi dengan pengembangan kawasan di sekitarnya.
Hal itu tampak dari usulan perubahan skema penugasan pemerintah ke PT Hutama Karya (Persero) yang semula hanya membangun Jalan Tol Trans-Sumatera menjadi penugasan pengembangan kawasan ekonomi baru. Contoh lain, badan usaha jalan tol di ruas Semarang-Demak juga mengajukan proposal pengelolaan lahan di sisi jalan yang akan terbebas dari rob karena tol tersebut sekaligus berfungsi sebagai tanggul laut.
”Jadi, jalan tol adalah tulangnya, sementara pengembangan kawasan di sepanjang koridor adalah dagingnya,” ujar Danang.
Meski demikian, menurut Danang, skema pembangunan jalan tol yang digabung dengan pengembangan kawasan di sekitar tol masih belum dapat dilakukan. Sebab, regulasi yang ada belum memungkinkannya. Meski begitu, pengelola tol tetap dimungkinkan mendapat nilai tambah lain dari bisnis jalan tol dengan mengembangkan tempat istirahat dan pelayanan (TIP).
Oleh karena itu, pemerintah akan merevisi Peraturan Menteri PUPR Nomor 10/2018 tentang Tempat Istirahat dan Pelayanan pada Jalan Tol agar dapat mengakomodasi pengembangan TIP. Menurut rencana, ke depan, TIP dapat dikembangkan untuk tujuan khusus, yakni sebagai tempat destinasi, fasilitas transit antarmoda angkutan penumpang, dan hub logistik.
Sebagai contoh, pengelola ruas Tol Cibitung-Cilincing yang masih tahap konstruksi akan menyiapkan fasilitas bongkar muat kontainer di TIP yang ada di ruas tersebut. Kegiatan bongkar muat dilakukan di luar pelabuhan diharapkan memperlancar arus barang di pelabuhan. Luas yang dibutuhkan untuk TIP berkonsep hub logistik tersebut mencapai 20 hektar.
Saat ini, kata Danang, draf revisi peraturan mengenai TIP berkonsep khusus tersebut telah selesai dan kemungkinan akan terbit pada triwulan I-2020. Saat ini, sudah banyak badan usaha jalan tol yang menunggu regulasi tersebut.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Jalan Tol Indonesia yang juga CEO Group Bisnis Jalan Tol Astra Infra Kris Ade Sudiyono memiliki pandangan berbeda. Menurut dia, konsep penggabungan pembangunan jalan tol dengan pengembangan kawasan mudah dibicarakan, tetapi tidak mudah dihitung nilai pengembalian investasinya.
”Rasanya orang mengusulkan proyek tambahan itu ketika dia merasa proyeknya akan rugi. Tetapi, kalau kedua proyek itu sama-sama menguntungkan, tentu akan independen atau berdiri sendiri-sendiri,” kata Kris Ade.
Sebagai pelaku industri jalan tol, ujar Kris Ade, pihaknya secara bertahap juga akan mengembangkan TIP yang akan memiliki fungsi lain, yakni sebagai destinasi. Satu TIP yang dikembangkan berada di ruas Semarang-Solo. Ke depan, pihaknya akan mengembangkan TIP serupa di ruas-ruas lain, seperti di Tangerang-Merak dan ruas Cipali.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi mengatakan, tersambungnya jalan tol seperti Trans-Jawa mendorong penyedia jasa angkutan penumpang untuk menambah trayek layanannya. Selain itu, mereka juga berinvestasi dengan menambah armadanya.
Tersambungnya jalan tol mendorong penyedia jasa angkutan penumpang menambah trayek.
Terkait dengan itu, kata Budi, pihaknya telah mengusulkan kepada Kementerian PUPR untuk memfungsikan TIP, salah satunya untuk transit antarmoda. Menurut dia, tidak semua TIP perlu difungsikan sebagai tempat transit antarmoda. Untuk sepanjang Trans-Jawa mungkin hanya diperlukan 3-4 TIP yang difungsikan sebagai terminal.
”Ini satu peluang semisal ada bus Trans-Jawa, lalu simpulnya di mana? Mestinya ada di TIP. Kementerian PUPR akan mengakomodasi hal ini,” kata Budi.
Danang menyebutkan, Menteri PUPR telah menetapkan kenaikan tarif untuk ruas Jagorawi melalui Keputusan Menteri PUPR No 1175/2019. Tarif untuk kendaraan golongan I akan naik dari Rp 6.500 menjadi Rp 7.000, golongan II dan III menjadi Rp 11.500, serta golongan IV dan V menjadi Rp 16.000. Menurut rencana, tarif baru tersebut akan diberlakukan mulai 19 Desember 2019.