Pemberian kredit kepada perempuan lebih aman karena sebagian besar penerima kredit menggunakan uang pinjaman untuk keluarga, bukan untuk kepentingannya sendiri. Tingkat kredit macet hanya 3 persen.
Oleh
Joice Tauris Santi
·6 menit baca
KOMPAS/JOICE TAURIS SANTI
Setiap dua pekan, para ibu berkumpul untuk membayar angsuran utang, juga berbagi dan mendengarkan berbagai macam pelatihan yang diselenggarakan Bank BTPN Syariah. Sudah 10 tahun kelompok nasabah ini rutin mengadakan pertemuan dua mingguan.
Salah satu syarat untuk berutang kepada bank adalah memberikan jaminan. Jaminan berupa aset seperti sertifikat rumah, bukti pemesanan barang, atau simpanan yang tentu nilainya lebih besar ketimbang jumlah utang kepada bank. Jaminan diperlukan karena bank juga ingin mengurangi risiko. Bank akan menanggung risiko ketika kredit yang diberikan tidak dibayar kembali.
Bagaimana bagi mereka yang ingin mendapatkan kredit, tetapi tidak memiliki jaminan? Kecil kemungkinan kredit dapat mengucur. Pedagang sayur, pedagang nasi uduk, dan pengusaha warung kecil sulit mendapatkan pinjaman.
Mereka lebih mudah mendapatkan kredit dari pemberi kredit pribadi atau sering disebut bank subuh dengan potongan pinjaman di muka. Semisal meminjam Rp 100.000, peminjam hanya menerima Rp 90.000, tetapi pengembalian masih ditambah bunga yang mencekik.
”Ketika 10 tahun lalu saya mendapatkan kredit Rp 1,5 juta, rasanya mau menangis. Kok, ada ya bank yang mau kasih kredit ke saya,” ujar Untung, seorang ibu rumah tangga, akhir pekan lalu.
Ia menjadi ketua pada kelompok nasabah di Sentra Gombeng 5, Kecamatan Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Untung dan tetangganya yang menjadi anggota kelompok membuat anyaman dari bambu yang dibentuk menjadi keranjang atau kap lampu.
Dia menggunakan dana tersebut untuk membeli bambu, bahan baku anyaman. Selama 10 tahun pula, setiap dua pekan satu kali, para ibu berkumpul.
KOMPAS/JOICE TAURIS SANTI
Ketua sentra seperti Untung ikut bertanggung jawab atas kehadiran para anggotanya dalam pertemuan dua pekanan. Kehadiran dalam pertemuan menjadi jaminan perbankan.
”Inilah jaminannya, kami selalu bertemu. Sebagai ketua kelompok, saya juga bertanggung jawab atas kehadiran anggota. Saya sudah bilang, kalau mau dapat kredit, tolong jangan menyusahkan saya. Datanglah ke pertemuan. Dulu, kadang saya harus jemput anggota. Sekarang, saya telepon supaya datang,” tutur Untung.
Dari awal berdirinya kelompok, ada empat anggota awal yang sudah tidak lagi ikut dalam keanggotaan saat ini. ”Mereka sudah pindah rumah. Bukan karena tidak membayar kreditnya,” ucap Untung buru-buru.
Selama 10 tahun pula, mereka secara konsisten sudah menyediakan waktu berkumpul bersama untuk bertransaksi perbankan di rumah salah satu anggota kelompok.
Ketika ditemui akhir pekan lalu, para ibu itu sedang mendengarkan materi pelatihan mengenai cara mengenali gejala awal kanker payudara. Community Officer Bank BTPN Syariah menjelaskan tentang pemeriksaan payudara sendiri (sadari) untuk mendeteksi gejala kanker.
Meskipun soal kanker payudara tidak ada kaitan langsung dengan perbankan, hal-hal yang menjadi perhatian nasabah yang notabene ibu-ibu turut menjadi perhatian pihak bank sebagai bagian dari pemberdayaan.
KOMPAS/JOICE TAURIS SANTI
Keranjang bambu hasil produksi para ibu prasejahtera di Kalipuro, Banyuwangi, Jawa Timur. Produksi keranjang semakin bertambah banyak karena pembiayaan dari bank.
Mereka juga mendengarkan pengalaman dari Sulastri, nasabah dari desa lain yang bulan lalu diberangkatkan umrah oleh Bank BTPN Syariah bersama dengan 300 nasabah lain.
”Mimpi umrah saya terjadi, bahkan lebih cepat. Jadi, ibu-ibu jangan mudah putus asa, tetap berjuang,” kata Sulastri.
Satu mimpi sudah terpenuhi, Sulastri masih menyimpan mimpi lain, yaitu warungnya dapat menjadi agen bahan-bahan kebutuhan pokok, tidak hanya melayani pembeli ritel.
Lebih dipercaya
Direktur Riset Central of Reform on Economics Indonesia Piter Abdullah mengatakan, pemberdayaan perempuan dapat dilakukan dengan cara pendidikan dan pelatihan serta memberikan akses informasi dan akses permodalan.
Ketika diberi kepercayaan mengakses permodalan, perempuan cenderung lebih dapat dipercaya. Perempuan mengembalikan pinjaman tepat waktu dan membuat tingkat kredit bermasalah dari penyaluran kredit untuk perempuan pun rendah.
KOMPAS/JOICE TAURIS SANTI
Para ibu keluarga prasejahtera yang menjadi nasabah Bank BTPN Syariah. Perempuan yang mendapatkan kredit, tingkat kredit bermasalahnya (non-performing loan) sebesar 3 persen saja.
Hal ini tecermin secara luas dari kajian IFC (International Finance Corporation) yang mengungkapkan, perempuan yang memanfaatkan kredit untuk usaha mikro, kecil, dan menengah, tingkat kredit bermasalahnya (non-performing loan/NPL) sebesar 3 persen saja.
Temuan itu berdasarkan sampel dari 157 institusi finansial klien IFC pada tahun 2018. Sementara tingkat NPL untuk total portofolio kredit mikro, kecil, dan menengah sebesar 4,9 persen.
Pendiri Grameen Bank, Muhammad Yunus mencermati, pemberian kredit kepada perempuan lebih aman karena sebagian besar perempuan yang mendapatkan kredit akan menggunakan uang itu untuk keluarga mereka, bukan untuk kepentingannya sendiri.
Perempuan yang menerima kredit dalam jumlah kecil pun tidak tergoda untuk membeli barang mewah seperti yang dilakukan kaum lelaki. Mereka menggunakan uang itu untuk membeli bibit sayur yang kelak dapat ditanam, ayam yang dapat dijual atau dipotong, atau untuk membeli makanan bergizi bagi keluarga.
Usaha yang dijalankan perempuan memang bukan usaha yang besar dengan omzet hingga puluhan juta rupiah. Akan tetapi, usaha mikro, kecil dan menengah yang dijalankan oleh perempuan memberikan sumbangan cukup besar terhadap produk domestik bruto.
KOMPAS/JOICE TAURIS SANTI
Business Coach BTPN Syariah bercerita tentang suka duka mendampingi nasabah perempuan.
Dari segi penyerapan tenaga kerja, pada tahun 2017 UMKM menyerap 116 juta tenaga kerja atau 97 persen dari total angkatan kerja yang bekerja. Secara agregat, usaha kecil juga terbukti tangguh dalam situasi ekonomi yang paling buruk sekalipun.
Seorang pengusaha mikro yang tadinya berjualan gorengan bisa beralih menjadi penjual dompet pada bulan berikutnya, demikian seterusnya. Namun, mereka sangat rentan terhadap berbagai macam masalah, seperti masalah permodalan, persaingan usaha, biaya tinggi, dan tidak memiliki jaminan. Mereka cepat berganti bisnis dari satu bidang ke bidang lain karena kendala-kendala tersebut.
Salah satu solusi untuk memberdayakan perempuan yang memiliki usaha mikro dan kecil ini adalah dengan memberikan pembiayaan secara berkelompok. Mereka akan bertumbuh secara berkelompok karena dapat saling menguatkan satu sama lain.
Pendekatan kelompok ini dinilai lebih pas ketimbang pemberian akses modal secara perorangan. Ketiadaan jaminan dapat diatasi dengan cara menanggung risiko bersama dalam satu kelompok.
Dengan demikian, jika ada anggota kelompok yang berhalangan membayar cicilan, harus ditanggung oleh anggota kelompok lain. Pelatihan akan semakin membuat perempuan pengusaha mikro dan kecil ini menjadi lebih berdaya.
KOMPAS/JOICE TAURIS SANTI
Seorang nenek memintal benang di depan rumahnya di Bima, Nusa Tenggara Barat. Ia salah satu anggota kelompok penerima pinjaman dari BTPN Syariah.
Dampak sosial
Memberdayakan perempuan melalui pemberian modal usaha dan pelatihan tidak hanya berdampak pada perekonomian keluarga, tetapi juga secara sosial. Setelah mendapatkan modal dan pelatihan, beberapa aspek sosial pun meningkat.
”Seperti terlihat dari jumlah anak yang tidak sekolah. Data kami menunjukkan ada penurunan,” ujar Direktur Utama Bank BTPN Syariah Ratih Rachmawaty.
Jumlah rumah tangga yang tidak memiliki toilet pun menurun. Hal lain yang terlihat adalah pengurangan emisi karbon. Rumah tangga yang menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar jumlahnya menurun.
Seorang ibu yang mulanya tidak memiliki penghasilan sama sekali kemudian mendapat kredit awal sebesar Rp 1,5 juta sebagai modal usaha akan menghasilkan uang bagi keluarga.
Beberapa ibu anggota kelompok dari keluarga prasejahtera di Bima, Nusa Tenggara Barat, misalnya, kini sudah mampu memperoleh penghasilan Rp 5 juta per bulan dari usaha pembuatan tembikar. Dengan penghasilan tersebut, para ibu ini mampu menyekolahkan anaknya sehingga jumlah anak yang tidak bersekolah menurun.
KOMPAS/JOICE TAURIS SANTI
Fatma (berbaju merah) dan rekan-rekannya membuat gerabah. Mereka menerima pinjaman dari BTPN Syariah.
Ketiadaan jaminan/agunan diganti dengan kehadiran para ibu. Setiap dua pekan, mereka diwajibkan berkumpul untuk membayar cicilan, menabung, dan mendengarkan berbagai materi pelatihan.
Kehadiran mereka merupakan jaminan dari kredit yang diambil. Dalam hal ini, ketua sentra memikul tanggung jawab besar untuk menghadirkan anggota kelompok pada setiap pertemuan, seperti diungkapkan Untung, salah seorang ketua sentra.
Anggota yang hadir berarti mereka telah siap membayar cicilan utang, menambah jumlah tabungan, dan menerima berbagai informasi untuk bertumbuh bersama.