Pemerintah Juga Perlu Mengatur Perdagangan di Media Sosial
Aprindo berharap pemerintah mengatur kegiatan dan transaksi perdagangan di media sosial. Regulasi itu terutama lebih pada petunjuk teknis dan pelaksanaan untuk menciptakan situasi yang kondusif bagi para pelaku usaha.
Oleh
m paschalia judith j
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik atau PMSE belum membahas aktivitas perdagangan di media sosial. Padahal, aspek ketertelusuran dan perlindungan konsumen dalam aktivitas tersebut membutuhkan payung hukum.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey, Senin (9/12/2019), mengatakan, pemerintah mengharapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2019 tentang PMSE menjadi tanda kesetaraan aturan berdagang. Kesetaraan itu berlaku baik untuk pelaku usaha yang berbasis toko fisik maupun daring.
Untuk itu, Aprindo berharap pemerintah juga mengatur kegiatan dan transaksi perdagangan di media sosial. Regulasi itu terutama lebih pada petunjuk teknis dan pelaksanaan untuk menciptakan situasi yang kondusif bagi para pelaku daring maupun ritel fisik.
”Utamanya adalah perlindungan konsumen yang perlu terus ditegakkan,” kata Roy saat ditemui di sela-sela Forum E-Commerce Indonesia 2019 di Jakarta.
Menurut Roy, konsumen yang membeli barang melalui media sosial rentan terhadap risiko. Contohnya, barang yang diterima tidak sesuai dengan yang ditampilkan.
Hal ini membutuhkan aturan yang bersifat teknis di tingkat kementerian/lembaga. Selain itu, transaksi perdagangan media sosial berpotensi lebih besar dibandingkan di pelantar (platform) e-dagang atau situs ritel daring.
”Transaksi tersebut tidak terdeteksi karena sulit ditelusuri,” ujarnya.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Suhanto berpendapat, pemerintah dan pelaku usaha di bidang perdagangan saat ini tengah mencari cara menjaring pedagang-pedagang di media sosial.
”Dalam waktu 1-2 minggu ini, kami akan membuat tim kecil berupa kelompok kerja yang beranggotakan Kementerian Perdagangan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Koordinator Perekonomian, dan pelaku usaha dari Idea (Asosiasi E-Commerce Indonesia),” ujarnya.
Pemerintah dan pelaku usaha di bidang perdagangan saat ini tengah mencari cara menjaring pedagang-pedagang di media sosial.
Pasal 5 PP PMSE menyebutkan, pelaku usaha dalam PMSE terdiri dari pedagang, penyelenggara PMSE, dan penyelenggara sarana perantara. Ketiga aktor ini mencakup pelaku di dalam negeri ataupun luar negeri.
Penyelenggara PMSE didefinisikan sebagai semua pihak yang menyediakan jasa dan/atau sarana sistem elektronik sehingga memungkinkan suatu transaksi kegiatan usaha PMSE dapat dilakukan.
Model bisnis penyelenggara PMSE terdiri dari ritel daring atau pedagang yang memiliki sarana PMSE sendiri, laman pemasaran atau penyedia pelantar sebagai wadah pedagang dapat memasang penawaran barang atau jasa, iklan baris daring, dan pelantar pembanding harga.
Model bisnis daily deals juga termasuk di dalamnya. Daily deals adalah salah satu model e-dagang yang menawarkan diskon produk atau jasa dalam jangka waktu tertentu.
Sementara itu, penyelenggara sarana perantara didefinisikan sebagai penyedia sarana sistem penelusuran informasi, penyedia ruang penyimpanan informasi secara tetap (hosting) maupun untuk penampungan sementara (caching). Dengan kata lain, perusahaan jasa media sosial tidak tercakup dalam dua kelompok pelaku usaha tersebut.
Padahal, sejumlah pedagang skala UMKM turut memanfaatkan media sosial untuk berdagang. ”Kami juga belum mengetahui kejelasan status badan hukum pedagang-pedagang (yang ada di media sosial) itu seperti apa,” kata Suhanto.
Oleh sebab itu, lanjut Suhanto, kelompok kerja tersebut akan merumuskan regulasi yang tepat untuk mengatur aktivitas perdagangan di media sosial melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag). Harapannya, Permendag ini sudah terbit pada triwulan I-2020.
Terkait regulasi yang mengatur aktivitas perdagangan di media sosial, pemerintah menekankan agar masyarakat yang berdagang melalui media sosial juga mendaftar sebagai pelaku usaha.
”Akun-akun komunitas media sosial yang memiliki tendensi berdagang mesti mendaftar sebagai pelaku usaha. Contohnya, forum jual-beli di Facebook dan Kaskus,” kata Rudy Salahuddin, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Kreatif, Kewirausahaan, dan Daya Saing Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Kementerian Koordinator Perekonomian Rudy Salahuddin.