Prospek Bangunan Hijau di Asia Pasifik Menjanjikan
Bank Dunia melaporkan bahwa ada peluang investasi 17,8 triliun dollar AS untuk bangunan hunian atau perkantoran yang ramah lingkungan di Asia Pasifik. Prospek bangunan hijau di kawasan ini dinilai menjanjikan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Prospek investasi bangunan gedung hijau di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia, sangat menjanjikan. International Finance Corporation atau IFC, bagian dari Bank Dunia, melaporkan bahwa ada peluang investasi 17,8 triliun dollar AS untuk bangunan hunian atau perkantoran yang ramah lingkungan. Bank Indonesia memberikan kemudahan pembiayaan untuk investasi jenis ini.
Dalam laporan IFC, kawasan Asia Pasifik akan dihuni oleh setengah dari populasi penduduk kota di seluruh dunia sampai 2030 nanti. Dengan proyeksi ada 80 juta orang memasuki kelas menengah di Asia dalam beberapa tahun ke depan, permintaan akan hunian terus meningkat. Luas lantai gedung di perkotaan diperkirakan meningkat sampai dua kali lipat dari sekarang pada 2060 nanti.
”Dari sisi bangunan, harga energi akan menimbulkan masalah untuk pembiayaan penerangan dan pengatur suhu udara. Porsinya bisa sampai 20 persen dari pendapatan. Oleh karena itu, gedung hijau yang hemat energi dan air sangat dibutuhkan,” ucap Senior Country Officer IFC Jack Sidik dalam sebuah lokakarya, Jumat (6/12/2019), di Jakarta.
Sidik melanjutkan, bangunan hijau punya prospek sangat bagus karena tingkat huniannya lebih tinggi 23 persen dibanding bangunan konvensional. Lantaran pendapatan sewa bertambah, bangunan hijau disebut memberikan keuntungan 31 persen lebih besar dari bangunan konvensional. Apalagi, biaya operasional bangunan hijau lebih murah 37 persen.
”Jadi, tak hanya menguntungkan dari sisi kelestarian lingkungan, bangunan hijau juga sangat menarik dari segi investasi,” ujar Sidik.
Director of Climate Business IFC Alzbeta Klein menambahkan, konstruksi bangunan ramah lingkungan menjadi peluang investasi terbesar di masa mendatang. Investasi ini memicu pertumbuhan ekonomi rendah karbon dan menciptakan tenaga kerja berketerampilan khusus. Lompatan terbesar konstruksi bangunan ramah lingkungan akan terjadi di negara berkembang yang mengalami pertumbuhan pendapatan dan penambahan populasi.
”Faktor lainnya adalah urbanisasi yang tumbuh pesat sehingga luas lantai-lantai gedung di perkotaan akan meningkat dua kali lipat sampai 2060 nanti,” kata Klein.
Di Indonesia, Jakarta dan Bandung adalah dua kota perintis dalam pengembangan gedung hijau ramah lingkungan. Sampai Juni 2019, ada sekitar 6.000 bangunan di kedua kota itu yang masuk kategori ramah lingkungan dengan luas lantai mencapai 25 juta meter persegi. Potensi penurunan emisi gedung-gedung tersebut diperkirakan mencapai 1 juta metrik ton dengan nilai penghematan biaya energi sebanyak 120 juta dollar AS.
Bank Indonesia berpandangan bahwa kebijakan keuangan yang pro terhadap perubahan iklim sangat diperlukan. Pasalnya, gejala perubahan iklim berdampak langsung terhadap stabilitas keuangan, seperti dampak yang ditimbulkan akibat polusi udara, pencemaran, serta mutu air bersih yang memburuk. Bangunan berwawasan lingkungan dan transportasi ramah lingkungan adalah beberapa jenis usaha yang mendapat stimulus dari perbankan.
”Keringanan uang muka diberikan untuk kendaraan listrik bertenaga baterai dan bangunan ramah lingkungan yang sudah bersertifikat,” ujar Viana Sari dari Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia.