JAKARTA, KOMPAS--Proses perizinan merupakan kunci utama investasi. Pengurusan perizinan secara terintegrasi secara dalam jaringan dapat mendukung peningkatan daya saing investasi.
Penerapan sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (online single submision/OSS) di Indonesia memerlukan harmonisasi dan sinkronisasi regulasi antarkementerian/lembaga di pusat dengan pemerintah daerah.
"Peningkatan infrastruktur digital dan pembenahan mental petugas pemerintah juga perlu disiapkan dengan sungguh-sungguh," kata Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Pengembangan Kawasan Ekonomi Sanny Iskandar ketika dimintai pandangan di Jakarta, Minggu (13/10/2019).
Sanny menuturkan, praktik pengurusan perizinan secara terintegrasi sudah dilakukan sejumlah negara, misalnya Singapura, melalui Economic Development Board Singapore.
Proses pengurusan melalui sistem OSS tersebut akan lebih mudah, transparan, pasti, cepat, dan murah. Selain itu, dapat menghindari pungutan tidak resmi atau praktik korupsi.
"Hal yang sama seharusnya juga diterapkan di Indonesia jika ingin meningkatkan daya saing investasi," kata Sanny.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal, realisasi investasi pada Januari-Juni 2019 sebesar Rp 395,6 triliun. Jumlah itu berupa penanaman modal asing Rp 212,8 triliun dan penanaman modal dalam negeri Rp 183,8 triliun.
Sebelumnya, peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menuturkan, sudah ada hasil kajian dari Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengenai realisasi komitmen OSS.
Berdasarkan kajian KPPOD, aspek regulasi antara lain mencakup disharmoni Peraturan Pemerintah Nomor 24/2018 dengan UU Penanaman Modal, UU Pemda, dan UU Penataan Ruang.
Norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) tidak lengkap berimplikasi pada variasi layanan. Selain itu, substansi NSPK sektor juga tidak memadai. Pada aspek sistem, integrasi sistem belum berjalan, basis data perizinan tidak terklarifikasi, fitur pembayaran elektronik belum ada, rencana detail tata ruang belum lengkap, dan sistem kementerian/lembaga menghambat layanan.
Sementara, pada aspek tata laksana antara lain didapati perbankan di beberapa daerah belum mengakui nomor induk berusaha (NIB) sebagai pengganti tanda daftar perusahaan. Koordinasi untuk izin lokasi juga belum baik.
Menurut Enny, delegasi kewenangan juga jadi persoalan OSS. Persoalan ini mestinya bisa dituntaskan jika ada satu otoritas yang berwenang.
Syarat
Enny menambahkan, otoritas tunggal tersebut bukan berarti menafikan hal-hal penting yang harus dipenuhi sesuai standar. Di banyak negara, juga tetap ada persyaratan yang harus dipenuhi investor atau pelaku usaha.
Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Bambang Adi Winarso menyebutkan, OSS ditujukan untuk mengatasi persoalan dalam hal perizinan. (CAS)