Kementerian Kelautan dan Perikanan Minta Penundaan AIS
Kementerian Kelautan dan Perikanan meminta penundaan penerapan sistem identifikasi otomatis atau AIS bagi kapal perikanan berukuran di atas 60 gros ton. Penundaan diharapkan berlangsung 6 bulan guna memastikan kesiapan kapal ikan.
Oleh
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kelautan dan Perikanan meminta penundaan penerapan sistem identifikasi otomatis atau AIS bagi kapal perikanan berukuran di atas 60 gros ton. Penundaan diharapkan berlangsung 6 bulan guna memastikan kesiapan kapal ikan.
Ketentuan penggunaan dan pengaktifan AIS diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 7 Tahun 2019 tentang Pemasangan dan Pengaktifan Sistem Identifikasi Otomatis (Automatic Identification System/AIS) bagi Kapal yang Berlayar di Wilayah Perairan Indonesia. Regulasi direncanakan berlaku mulai 20 Agustus 2019.
Dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), terdapat 4.571 kapal ikan berukuran di atas 60 gros ton (GT) yang diwajibkan memasang alat itu. ”Kami telah meminta agar pengusaha masih diberi waktu setidaknya 6 bulan dalam melakukan instalasi alat tersebut,” ujar Zulficar Mochtar, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan, di Jakarta, Senin (19/8/2019).
Dari hasil pemantauan lapangan dan koordinasi pihaknya dengan Kementerian Perhubungan disepakati bahwa penggunaan AIS penting dan perlu terus didukung implementasinya. Pemakaian AIS antara lain untuk memantau keselamatan pelayaran sesuai mandat Organisasi Maritim Internasional (IMO). Namun, penerapannya masih perlu sosialisasi lebih lanjut, serta pendampingan pemilik kapal perikanan untuk akses ke produk dan teknologi.
Terkait itu, ketentuan penggunaan AIS tetap diberlakukan per 20 Agustus 2019. Akan tetapi, khusus untuk pelaku usaha perikanan tangkap tidak akan diberikan sanksi atau penindakan selama periode 6 bulan. Berdasarkan kesepakatan, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Hubla) Kemenhub akan memformulasikan relaksasi aturan itu dalam Instruksi Menteri Perhubungan.
Pelaku usaha perikanan tangkap tidak akan diberikan sanksi atau penindakan selama periode 6 bulan.
Zulficar menambahkan, selama 6 bulan ke depan, pihaknya bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut akan melakukan sosialisasi dan pendampingan terhadap pelaku usaha. Selain itu, berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut terkait kesiapan akses terhadap peralatan dan teknologi. ”Kami juga akan terus memantau perkembangan dan kepatuhan pelaku usaha,” katanya.
Sebelumnya, pelaku usaha perikanan tangkap mengeluhkan kewajiban penggunaan AIS yang dinilai tumpang tindih dengan ketentuan pemakaian alat sistem pengawasan kapal (VMS) oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Selama ini, kapal-kapal perikanan berukuran di atas 30 GT sudah dilengkapi VMS.
Secara terpisah, Ketua II Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) Dwi Agus mengemukakan, pihaknya sudah memperoleh informasi terkait penundaan kewajiban penggunaan AIS bagi kapal perikanan. Akan tetapi, informasi itu baru diterima secara lisan.
”Kami masih terus menanyakan surat resmi pengunduran penggunaan AIS supaya kapal yang terkena aturan AIS tetap bisa operasional,” katanya.
Ia menambahkan, terdata sebanyak 163 kapal rawai (longline) tuna anggota ATLI diwajibkan memakai alat itu. Namun, pihaknya belum tahu di mana alat itu bisa didapatkan. Fungsi AIS dinilai identik dengan VMS yang selama ini digunakan kapal perikanan. Di sisi lain, penggunaan AIS disyaratkan oleh regulasi internasional.