Fokus Tuntaskan Akar Masalah
JAKARTA, KOMPAS
Kondisi perekonomian yang lebih menantang, dari sisi domestik maupun global, akan dihadapi pemerintahan Presiden-Wakil Presiden Joko Widodo-Ma\'ruf Amin. Untuk menjawab tantangan itu, proses pengambilan kebijakan mesti berlandaskan diagnosis persoalan yang tepat dan terukur.
Tata kelola regulasi dan institusi masih menjadi persoalan yang belum kunjung tuntas. Sejauh ini, 16 paket kebijakan ekonomi, yang diluncurkan untuk menjawab kerumitan regulasi, hingga berbagai insentif fiskal tidak berdampak signifikan. Sebab, eksekusi berbagai paket kebijakan tersebut masih terhambat.
Situasi perekonomian dalam lima tahun mendatang juga tak terlepas dari perkembangan ekonomi digital. Tanpa arah kebijakan yang jelas, Indonesia hanya akan menjadi pasar dan penyalur barang impor. Daya saing industri yang tidak kompetitif akan berdampak buruk bagi penerimaan perpajakan sebagai tulang punggung perekonomian.
Persoalan itu mengemuka dalam Diskusi Panel Ekonomi ”Tantangan Pemerintahan Joko Widodo-Ma’aruf Amin 2019-2024” yang diselenggarakan Harian Kompas di Jakarta, Rabu (31/7/2019). Pembicara dalam diskusi itu adalah pengajar Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri, Pendiri dan CEO Bukalapak Achmad Zaky, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, Pemilik dan CEO PT Kelola Mina Laut Mohammad Nadjikh, dan Ketua Dewan Penasihat Ikatan Alumni Lemhannas Bambang Kesowo. Diskusi dipandu Pengajar Unika Atma Jaya Jakarta A Prasetyantoko sebagai moderator.
Menurut Faisal Basri, target pertumbuhan ekonomi 7 persen sulit tercapai dalam lima tahun mendatang. Perekonomian sulit tumbuh tinggi karena terhalang persoalan regulasi dan institusi. Regulasi belum mendukung penciptaan dan pengembangan bisnis, terutama terkait tenaga kerja, investasi, dan perdagangan.
Ia mencontohkan, pemerintah masih berorientasi pada pertumbuhan investasi, bukan kualitas investasi. Di sisi lain, kinerja investasi tumbuh, hingga mencapai 32,3 persen produk domestik bruto (PDB) pada 2018. Namun, sebagian besar tidak berorientasi ekspor sehingga daya dorongnya terhadap perekonomian kecil.
“Akar masalah bersumber dari diagnosis yang tidak benar sehingga kebijakan yang diambil juga tidak benar,” katanya.
Di sisi lain, pemberian insentif fiskal untuk menarik penanaman modal asing (PMA) justru dikenai berbagai restriksi. Hal itu tercermin dalam indeks pembatasan peraturan PMA 2018 yang dilansir organisasi untuk kerja sama dan pembangunan ekonomi (OECD), Indonesia ada di peringkat ke-44 dari 69 negara.
Faisal Basri menambahkan, pemerintah sudah mengetahui dan memetakan persoalan ekonomi domestik. Namun, eksekusi kebijakan kerap kali tidak menyentuh akar masalah. Padahal, akar masalah mestinya diatasi sebelum menyusun strategi ekonomi yang jelas dan ekosistem yang akan dibangun.
Yustinus Prastowo berpendapat, sejumlah insentif fiskal yang diberikan pemerintah kepada dunia usaha belum dibarengi kalkulasi yang matang, mulai dari efektivitas hingga penerima insentif. Akibatnya, penerimaan pajak tergerus, sedangkan perekonomian tidak bergerak.
“Selama lima tahun terakhir pajak amat lekat dengan politik, baik perumusan kebijakan maupun tarik-menarik kepentingan suatu isu,” ujarnya.
Reformasi perpajakan jangan hanya menyentuh aspek administrasi. Pengawasan pajak justru harus menyasar para pengemplang pajak bukan wajib pajak. Peningkatan kepatuhan jadi tujuan utama sehingga penerimaan pajak tumbuh. Walhasi, pajak jadi instrumen hegemoni yang kuat.
Menurut dia, target penerimaan pajak yang tidak pernah tercapai sejak 2009 patut diperhatikan. Penerimaan pajak masih ditopang komoditas, terutama batu bara dan minyak sawit. Kondisi itu cukup berbahaya karena tatanan ekonomi global bergeser dari komoditas ke barang bernilai tambah.
Ekonomi digital
Achmad Zaky mengemukakan, tantangan perekonomian semakin kompleks. Perdagangan lintas negara jadi masalah utama di era ekonomi digital. Barang-barang impor tidak hanya membanjiri pasar domestik, namun juga menurunkan daya saing bisnis. Sebagian besar penjual lebih memilih menjadi penjual lanjutan ketimbang produsen. Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah dirugikan.
“Di sisi penjual, bikin produk sendiri lebih mahal dari impor. Di sisi pembeli, lebih murah produk impor ketimbang lokal. Tren ini yang patut dicermati,” katanya.
Di era ekonomi digital, kebijakan yang disusun pemerintah mesti mengakomodasi kepentingan industri, investor, dan pekerja. Industri dan investor di Indonesia kesulitan mencari tenaga kerja yang andal di bidang teknologi infomasi. Perguruan tinggi semestinya dilibatkan untuk menyediakan tenaga kerja sesuai kebutuhan industri.
Menurut Zaky, regulasi dan insentif fiskal masih berorientasi bisnis konvensional. Ia mencontohkan, insentif fiskal berdasarkan investasi atau keuntungan perusahaan. Padahal, perusahaan rintisan berbasis digital tidak berorientasi pada keuntungan, tetapi pertumbuhan. Pemerintah juga diminta tidak memberi aturan yang terlalu ketat untuk pertumbuhan ekonomi digital.
Menurut Mohammad Nadjikh, produksi perikanan tangkap dalam negeri masih kurang. Ada beberapa kendala di industri perikanan tangkap, terutama terkait regulasi penggunaan alat tangkap, pembatasan ukuran kapal, dan kegiatan alih muatan di laut.
Pemerintahan Joko Widodo-Ma\'ruf Amin diminta mendorong industrialisasi terpadu untuk perikanan rakyat. Industrialisasi ini melibatkan industri budidaya, pengolahan ikan, dan distribusi serta logistik. Kebijakan ini diharapkan mampu meningkatkan daya saing global sehingga penerimaan ekspor dari perikanan naik siginifikan.
Sementara, Bambang Kesowo memaparkan, penataan kelembagaan negara penting untuk menciptakan lingkungan pemerintahan yang mampu menghadapi berbagai tantangan negara di masa mendatang. Formulasi kebijakan oleh Presiden sebagai kepala negara sangat menentukan proses penataan kelembagaan sekaligus menjadi arahan bagi berbagai upaya mengatasi persoalan dan tantangan.
”Presiden harus memformulasikan apa yang diharapkan dan diinginkan dalam mengatasi persoalan yang dihadapi. Formulasi dalam pembuatan kebijakan itu seharusnya mellaui prosedur dan kelembagaan yang jelas, sehingga jelas bagaimana mendiagnosa persoalan dan bagaimana solusi mengatasinya," kata Bambang.
Dalam sistem presidensiil, kewenangan tertinggi pemerintahan berada di tangan pemerintah, termasuk dalam mengatasi persoalan-persoalan di bidang ekonomi melalui lembaga birokrasi.
Lebih jauh, Bambang menerangkan, Presiden Joko Widodo tidak harus tersandera persoalan latar belakang menteri, baik berlatar belakang partai politik atau profesional. Presiden semestinya menetapkan prasyarat bagi calon menteri.
"Yang penting, satu, dia harus mampu menangkap persoalan, atau tahu mengenai permasalahan. Kedua, dia memiliki pengetahuan. Ketiga, dia mengaplikasikan sistem manajerial," katanya. (KRN/REK)