Pembangunan sektor kelautan dan perikanan diarahkan berbasis wilayah pengelolaan perikanan atau WPP. Saat ini perairan Indonesia terbagi atas 11 WPP.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1 Tahun 2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, 11 WPP itu meliputi perairan Selat Malaka dan Laut Andaman atau WPP 571, perairan Samudra Hindia sebelah barat Sumatera dan Selat Sunda (WPP 572), Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian barat (WPP 573), serta Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan (WPP 711).
Selain itu, perairan Laut Jawa (WPP 712), Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali (WPP 713), Teluk Tolo dan Laut Banda (WPP 714), Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau (WPP 715), Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera (WPP 716), Teluk Cenderawasih dan Samudra Pasifik (WPP 717), perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur (WPP 718).
Deputi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Arifin Rudiyanto mengemukakan, karakteristik 11 WPP berbeda-beda. Hal ini tecermin antara lain terdapat wilayah yang sudah mengalami penangkapan ikan berlebih (overfishing), sedangkan ada yang minim penangkapan (underfishing). Dengan demikian, diperlukan kebijakan yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi WPP.
”Konsep pembangunan berbasis WPP sebenarnya sudah ada, tapi belum sepenuhnya berjalan. Dalam RPJMN tahun 2020-2024 akan kita dorong kebijakan pembangunan berbasis kewilayahan sebagai kunci untuk pembangunan perikanan yang berkelanjutan,” ujarnya dalam peluncuran ”Platform Multipihak Perikanan Berkelanjutan”, di Jakarta, Kamis (25/7/2019).
Arifin menambahkan, pengelolaan kelautan dan perikanan berbasis WPP diperlukan untuk menghindari generalisasi satu kebijakan yang mungkin tidak tepat. Larangan penggunaan satu alat tangkap akibat penangkapan berlebih, misalnya, tidak tepat diterapkan di wilayah yang masih minim penangkapan.
Pengelolaan berbasis kewilayahan untuk mendukung pengelolaan perikanan yang berkelanjutan akan melibatkan multipihak, baik pemerintah pusat-daerah, pelaku usaha, akademisi, maupun lembaga swadaya masyarakat. Tata kelola hulu-hilir di setiap WPP akan ditopang antara lain regulasi, kelembagaan, akurasi data, serta pola investasi.
Pengelolaan berbasis kewilayahan untuk mendukung pengelolaan perikanan yang berkelanjutan akan melibatkan banyak pihak.
Direktur Kelautan dan Perikanan Bappenas Sri Yanti Wibisana menambahkan, pembangunan kelautan dan perikanan berbasis WPP yang tertuang dalam RPJMN tahun 2022-2024 wajib dijabarkan oleh kementerian kelautan dan perikanan dalam rencana strategis. Pengelolaan WPP terbagi atas kewenangan pemerintah pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota.
Pihaknya juga akan mendorong perbaikan data statistik dan informasi kelautan dan perikanan. Muncul kesan, data peningkatan produksi dan stok ikan nasional tidak berkorelasi dengan pertumbuhan investasi. Untuk itu, akan dilakukan audit terhadap data dengan melibatkan Badan Pusat Statistik (BPS).
”Data produksi terus naik, sedangkan industri sudah teriak-teriak. Kami akan meminta BPS melakukan pembenahan data kelautan dan perikanan agar lebih riil,” kata Sri Yanti.
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Luky Adrianto mengemukakan, pembangunan perikanan yang berkelanjutan tidak saja mengarah pada ekosistem yang sehat, tetapi juga menyejahterakan pelakunya. Untuk itu, pengelolaan WPP harus berbasis ekosistem sekaligus ekonomi. Namun, regulasi terkait dengan pengelolaan WPP itu diharapkan bertahap agar efektif.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Zulficar Mochtar menuturkan, pengelolaan perikanan saat ini sudah dilakukan berbasis WPP. Pembagian 11 WPP antara lain berdasarkan pada kondisi dan karakteristik perairan, jenis sumber daya ikan, serta kedalaman dan penamaan laut. Di lokasi-lokasi itu ada juga faktor yang dinamis, misalnya pengaruh musim, status kelimpahan ikan, jumlah nelayan, dan karakteristik perikanan.
Pembangunan perikanan yang berkelanjutan tidak saja mengarah pada ekosistem yang sehat, tetapi juga menyejahterakan pelakunya.
”Tetapi, kalau konteksnya memicu terjadinya kavling pengelolaan area perikanan, tidak boleh. Kalau mengarah pada eksploitasi intensif dan serampangan, jangan. Kalau konteksnya menuju upaya melegalkan alat tangkap tidak ramah lingkungan, tentu salah,” katanya.
Agar tata kelola perikanan optimal dan efisien, Zulficar menilai, perlu ada strategi, target, rencana, dan prioritas. Misi ekonomi, sosial, dan lingkungan harus sejalan agar sumber daya perikanan dikelola secara berkelanjutan, bertanggung jawab, dan berkeadilan.