Sisi positifnya, pemindahan ibu kota dikatakan mampu memberikan tambahan terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional. Dari kalkulasi Bappenas, pemindahan ibu kota dapat menambah pertumbuhan PDB sebesar 0,1 persen. Pertumbuhan itu bisa terjadi karena ada penggunaan dari sumber daya potensial yang selama ini belum termanfaatkan.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menyatakan biaya pemindahan ibu kota ke luar Pulau Jawa sebagian besar akan didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN. Biaya pemindahan ibu kota ditaksir mencapai ratusan triliun rupiah. Namun, sumber pembiayaan tidak berasal dari utang, tetapi salah satunya dari kerja sama pemanfaatan aset.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menggelar Dialog Nasional ke-2 Pemindahan Ibu Kota Negara di Jakarta, Rabu (26/6/2019). Dialog itu bertujuan mengumpulkan masukan terkait kriteria dan hal-hal yang mesti disiapkan dalam rangka pemindahan ibu kota. Aspek yang dibahas menyangkut dampak ekonomi, lingkungan hidup, dan pertahanan keamanan.
Hadir dalam dialog tersebut, di antaranya, Kepala Staf Kepresidenen Moeldoko, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro, dosen senior Universitas Indonesia Eko Prasetyono, Guru Besar Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Mudrajad Kuncoro, dan Ketua Dewan Pengawas Perkumpulan Industri Pertahanan Nasional Connie Rahakundini Bakrie.
Kuncoro menjelaskan, pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa sudah terlampau tinggi. Akibatnya, urbanisasi menjadi tidak dapat dibendung. Kemacetan pun kian parah di kota-kota besar di Jawa.
Ia mengutip kajian Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM pada 2013 yang menyebutkan kerugian ekonomi akibat kemacetan mencapai Rp 56 triliun per tahun.
Kebutuhan terhadap lahan di Jawa pun kian tinggi. Hasil modelling Bappenas pada 2019 menyebutkan, proporsi konsumsi lahan terbangun di Pulau Jawa tahun 2000 masih di kisaran 48,41 persen. Pada 2010 menyusut menjadi 46,49 persen. Adapun pada 2020 diperkirakan tersisa 44,64 persen. Berangkat dari kondisi tersebut, pemindahan ibu kota menjadi mendesak untuk dilaksanakan.
Pulau Kalimantan sejauh ini masih menjadi opsi paling masuk akal bagi pemerintah. Menurut Bambang, posisi Kalimantan berada di tengah-tengah Indonesia. Kalimantan juga relatif aman atau bebas dari bencana. Selain itu, sumber daya airnya juga tidak tercemar.
Bambang menegaskan, pembiayaan pemindahan ibu kota tidak akan bersumber dari utang. Pemerintah untuk sementara ini menyiapkan dua skema pembiayaan.
Skema pembiayaan pertama senilai Rp 466 triliun dan skema kedua sekitar Rp 323 triliun. Sumber utama pembiayaan menggunakan APBN. Pembiayaan APBN itu diperoleh dari kerja sama pemanfaatan aset.
Selain itu, skema pembiayaan untuk ibu kota, menurut rencana, berasal dari Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dan partisipasi pihak swasta. Artinya, pembiayaan ibu kota negara tidak akan didominasi oleh APBN.
”Semua pihak akan dilibatkan agar tidak menjadi beban APBN. Jadi, kita tidak akan membuat utang khusus hanya untuk membangun ibu kota,” ujarnya.
Menambah PDB
Bambang menjelaskan, pemindahan ibu kota bisa memberikan dampak negatif, bisa menyebabkan kenaikan inflasi sekitar 0,2 persen. Dampaknya terhadap inflasi nasional itu, kata Bambang, tergolong minim.
Sisi positifnya, pemindahan ibu kota dikatakan mampu memberikan tambahan terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional. Dari kalkulasi Bappenas, pemindahan ibu kota dapat menambah pertumbuhan PDB sebesar 0,1 persen. Pertumbuhan itu bisa terjadi karena ada penggunaan dari sumber daya potensial yang selama ini belum termanfaatkan.
”Semakin strategis lokasi ibu kota, semakin besar pula dampaknya terhadap perekonomian,” kata Bambang.
Tidak hanya itu, perekonomian nasional juga akan terdiversifikasi ke sektor yang lebih padat karya. Kondisi itu mendorong perdagangan antarwilayah dan investasi. Pada akhirnya akan mendorong penurunan kesenjangan antarwilayah.
Menurut Bambang, lebih dari 50 persen wilayah Indonesia akan merasakan peningkatan arus perdagangan apabila ibu kota dipindah ke provinsi yang memiliki konektivitas yang baik dengan provinsi lain.