Perlindungan terhadap anak buah kapal (ABK) kapal ikan asal Indonesia yang bekerja di luar negeri masih lemah. Regulasi yang parsial belum mampu melindungi awak kapal ikan dari praktik kekerasan hingga perdagangan manusia.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perlindungan terhadap anak buah kapal atau ABK kapal ikan asal Indonesia yang bekerja di luar negeri masih lemah. Regulasi yang parsial belum mampu melindungi awak kapal ikan dari praktik kekerasan hingga perdagangan manusia.
Ketua Umum Kesatuan Pelaut Perikanan Indonesia (KPPI) Sulistyanto, di Jakarta, mengemukakan, belum ada regulasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang mengatur tata kelola penempatan pelaut perikanan ke luar negeri. Regulasi pengiriman ABK kapal ikan cenderung disamakan dengan pelaut kapal kargo atau kapal niaga yang mengacu pada Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 84 Tahun 2013 tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal. Padahal, spesifikasi kerja di kapal ikan jauh berbeda dengan kapal niaga.
”Perbedaan mendasar awak kapal perikanan dengan awak kapal niaga, mulai dari jenis kapal, konstruksi, cara kerja, hingga pengelolaannya. Otomatis, penanganannya seharusnya berbeda, disesuaikan dengan spesifikasinya,” ujarnya, di Jakarta, Senin (10/6/2019).
Sejak Kementerian Kelautan dan Perikanan memberlakukan moratorium izin kapal ikan buatan luar negeri mulai 2014, peluang kerja awak kapal Indonesia di dalam negeri jauh berkurang. Salah satu solusinya, mencari kerja di luar negeri. Ironisnya, tidak ada mekanisme perlindungan yang jelas terhadap ABK yang ke luar negeri.
Sementara itu, Undang-Undang Nompr 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia belum ditindaklanjuti dengan peraturan pemerintah.
Pihaknya berharap ada terobosan dari Kementerian Koordinator Kemaritiman yang menaungi Kementerian Perhubungan juga Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk segera melakukan sinkronisasi dan koordinasi penyusunan regulasi teknis terkait tata kelola penempatan dan perlindungan ABK perikanan.
Ia mengakui, hingga kini penempatan ABK perikanan sulit dipantau karena banyak mengandalkan agen penyalur tenaga kerja di sektor kelautan yang ilegal. Dari sekitar 7.000 anggota KPPI, saat ini anggotanya hanya tinggal 200. Sebagian telah beralih menjadi pekerja serabutan untuk menyambung hidup.
Hal senada dikemukakan Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Mohammad Abdi Suhufan. Aturan yang ada masih bersifat parsial dan belum terhubung hari hulu ke hilir. Akibatnya, pemerintah tidak mempunyai data yang pasti mengenai jumlah ABK kapal ikan yang bekerja di luar negeri sehingga menyulitkan upaya perlindungan yang mesti dilakukan negara kepada warga negara.
Di samping itu, masih banyak perusahaan penyalur tenaga kerja di sektor kelautan tumbuh subur dengan dasar undang-undang perseroan terbatas yang izin usahanya dikeluarkan pemerintah daerah.
Abdi menambahkan, pemerintah perlu melakukan sinkronisasi aturan dan menetapkan kementerian yang berwenang melakukan pengaturan terkait penempatan ABK kapal ikan diluar negeri. Saat ini, ada tiga regulasi setingkat undang-undang yang memungkinkan penempatan ABK kapal ikan keluar negeri sesuai dengan kepentingan dan mekanisme masing-masing.
Ketiga aturan tersebut adalah UU 40 No/2007 tentang Perseroan Terbatas, UU 17 No/2008 tentang Pelayaran dan UU 18 No/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Keberadaan ketiga undang-undang tersebut dan turunannya membuat kebingungan dan menjadi celah terjadinya pelanggaran.
”Hal ini menyebabkan ketidaksatuan proses pelayanan dan belum adanya standar dokumen bagi pekerja tersebut,” kata Abdi. (LKT)