Perubahan Iklim Menurunkan Produksi Ikan Dunia
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan iklim menurunkan stok ikan laut sehingga bisa menyebabkan anjloknya produksi perikanan hingga 35 persen. Fenomena ini menjadi ancaman serius karena karena ikan laut merupakan sumber protein utama dunia dan menopang pekerjaan bagi 56 juta orang.
Kajian global terbaru dipublikasikan tim ilmuwan yang dipimpin oleh Christopher Free dari Universitas California Santa Barbara di jurnal Science pada edisi 1 Maret 2019. Studi ini menganalisis sejarah produksi 124 spesies ikan di 38 wilayah yang mewakili sekitar sepertiga dari tangkapan global yang dilaporkan.
Para peneliti membandingkan data stok ikan (maximum sustainable yield/MSY) dengan perubahan suhu lautan dalam kurun 1930 hingga 2010. Penggunaan parameter suhu ini ditujukan untuk memastikan bahwa perubahan produksi dipicu oleh pemanasan laut, bukan oleh berbagai faktor lain.
Hasilnya ditemukan bahwa 8 persen populasi dipengaruhi pemanasan secara signifikan, sementara 4 persen mengalami dampak positif. Namun, secara keseluruhan, kerugian lebih besar daripada keuntungannya.
”Dampak pemanasan global terhadap populasi ikan di seluruh dunia jauh lebih besar dari perkiraan kami sebelumnya,” kata Free dalam siaran pers yang dirilis UC Santa Barbara.
Dampak pemanasan global terhadap populasi ikan di seluruh dunia jauh lebih besar dari perkiraan kami sebelumnya
Menurut kajian ini, lokasi geografis memiliki pengaruh terbesar bagi ikan dalam menanggapi kenaikan suhu. Spesies di wilayah yang sama cenderung merespons dengan cara yang serupa. Ikan dalam keluarga atau taksonomi yang sama juga menunjukkan kesamaan dalam merespons perubahan. Para peneliti beralasan bahwa spesies terkait akan memiliki sifat dan siklus hidup yang sama, memberi mereka kekuatan dan kerentanan yang sama.
Dari aspek geografis ini ditemukan penurunan ketersediaan ikan dari tahun 1930 hingga 2010 di Laut Jepang, Laut Utara, pesisir Iberia, Kuroshio Current, dan ekoregion Celtic-Biscay Shelf. Di sisi lain, peningkatan ketersediaan terbesar terjadi di wilayah Labrador-Newfoundland, Laut Baltik, Samudra Hindia, dan Amerika Serikat bagian timur laut.
Asia Timur mengalami penurunan produksi perikanan terbesar, yaitu 15-35 persen. ”Ini berarti 15-35 persen lebih sedikit ikan tersedia untuk makanan dan pekerjaan di suatu wilayah dengan beberapa populasi manusia yang tumbuh paling cepat di dunia,” kata Free.
Adaptasi
Perubahan iklim yang memicu peningkatan suhu air laut menyebabkan sebagian wilayah akan mengalami kekurangan ikan dan sebagian mendapatkan tambahan karena migrasi ikan. Bagaimana beradaptasi dengan hal tersebut akan menjadi tantangan di masa depan.
Temuan ini dinilai sangat penting karena berhasil menghitung dampak nyata perubahan iklim di sektor perikanan. Menurut Free, metode ini bisa menjadi alat baru untuk menilai ukuran populasi ikan, strategi baru untuk menetapkan batas tangkapan yang mempertimbangkan perubahan produktivitas, dan perjanjian baru untuk berbagi tangkapan antara daerah yang mengalami penurunan dan peningkatan produksi.
”Kegagalan untuk beradaptasi dengan perubahan produktivitas perikanan akan menurunkan ketersediaan makanan dan kerugian ekonomi,” ucapnya.
Ia juga menekankan bahwa pemanasan hanya salah satu dari banyak proses yang memengaruhi kehidupan laut dan industri yang bergantung padanya. Pengasaman laut, penurunan kadar oksigen, dan hilangnya habitat juga akan berdampak pada kehidupan laut.
Selain itu juga ada faktor antropogenik berupa penangkapan ikan yang berlebihan. Overfishing membuat populasi ikan lebih rentan terhadap pemanasan, sementara pemanasan menghambat pemulihan populasi yang terlalu banyak makan.
Kondisi di Indonesia
Kajian ini tidak secara spesifik menyebutkan kondisi di Indonesia. Namun, sebagai negara yang sebagian besar wilayahnya berupa lautan, Indonesia dinilai sangat rentan terdampak. Meski demikian, data terkait hal ini di Indonesia sangat terbatas karena minimnya data historis tentang stok ikan nasional.
”Dampak perubahan iklim membutuhkan data dalam rentang waktu yang panjang. Kita tidak punya data historis dari sejak zaman Belanda untuk MSY dan perubahan temperatur. Data yang ada malah katanya data stok ikan kita meningkat akibat kebijakan pemberantasan illegal fishing,” kata peneliti perubahan iklim dari Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Novi Susetyo Hadi, Senin (4/3/2019), menanggapi kajian tim global ini.
Berdasarkan data KKP, angka stok ikan atau MSY Indonesia cenderung naik terus, dari 6,19 juta ton per tahun pada 1997 menjadi 12,54 juta ton per tahun pada 2016.
”Kenaikan data stok ini karena beberapa jenis ikan yang tidak masuk hitungan di waktu lalu sekarang masuk. Jadi, tidak ada hubungan dengan pencurian ikan,” kata ahli kelautan Institut Pertanian Bogor yang juga Ketua Akademisi Ilmuwan Muda Indonesia, Alan Koropitan.
Menurut Alan, data MSY yang saat ini dikeluarkan pemerintah tidak bisa dijadikan dasar penelitian mengenai dampak perubahan iklim terhadap perikanan. ”Namun, data riset yang dihitung sendiri berdasarkan pemodelan bisa melihat dampaknya di Indonesia,” katanya.
Penelitian yang dilakukan Alan menggunakan model stok ikan dari data sebaran klorofil yang diperoleh dari satelit selama 10 tahun terakhir. Perubahan suhu laut diketahui telah menyebabkan klorofil laut yang menjadi salah satu kunci penting dari rantai makanan semakin berkurang.
”Data ini yang kemudian kami analisis untuk mengetahui penurunan MSY ikan pelagis kecil di Indonesia,” katanya.
Menurut dia, berdasarkan kajian ini, tren penurunan stok ikan pelagis kecil di Indonesia berkisar 90.000-100.000 ton per tahun. ”Dalam rantai makanan, semua berkaitan dengan klorofil laut sebagai produser dasar, tetapi metode perhitungan stok bisa berbeda untuk kelompok ikan berbeda. Sejauh ini, yang berhasil saya hitung khusus untuk pelagis kecil,” ujarnya.
Berdasarkan laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) tahun 2018, jika upaya mengurangi laju pemanasan iklim berhasil, produksi perikanan laut di zona ekonomi eksklusif (ZEE) akan turun 2,8-5,3 persen pada 2050. Namun, jika upaya itu gagal dan laju pemanasan meningkat seperti saat ini, penurunan produksi ikan di ZEE bisa sekitar 7 persen menjadi 12,1 persen pada 2050.
Kajian Christopher Free dari Universitas California Santa Barbara menjadi bukti tentang penurunan stok ikan global yang akan memengaruhi pada penurunan produksi ikan.