JAKARTA, KOMPAS — Dana sosial berupa wakaf sangat potensial untuk dijadikan aset produktif sehingga bisa mendorong perekonomian nasional. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan langkah strategis terkait aturan dan pelaksanaannya.
Ketua I Ikatan Ahli Ekonomi Islam Irfan Syauqi Beik menyampaikan, wakaf adalah jenis amal dalam agama Islam yang lebih menekankan sedekah dalam bentuk aset, uang, tanah, atau bangunan. Menurut dia, ada dimensi ekonomi nasional yang turut terbangun dari wakaf, karena berkaitan dengan aset yang bisa digunakan untuk memberdayakan masyarakat.
"Wakaf merupakan bentuk amal yang dapat mendorong keterlibatan masyarakat secara kolektif. Semangatnya dibangun dari niat untuk bersedekah, namun tujuannya dapat memberi dampak bagi pertumbuhan ekonomi," kata Irfan dalam diskusi panel mengenai wakaf dan asuransi syariah, yang diadakan PT Prudential Life Assurance Indonesia, di Jakarta, Jumat (1/2/2019).
Nilai wakaf di Indonesia relatif besar. Indonesia merupakan negara peringkat pertama dalam Charities Aid Foundation World Giving Index 2018, mengalahkan Australia di posisi kedua.
Sekretaris Badan Wakaf Indonesia (BWI) Sarmidi Husna mengatakan, potensi wakaf di Indonesia diperkirakan mencapai Rp 180 triliun. Namun, realisasinya tahun 2018 berkisar Rp 600 miliar hingga Rp 700 miliar.
Irfan mengatakan, tantangan terbesar dari wakaf yaitu soal penguatan lembaga penerima wakaf (nadzir). Keberadaan nadzir ini tidak hanya sebagai penerima wakaf dari masyarakat, tetapi juga sebagai pihak yang mengelola wakaf menjadi aset produktif.
Selain itu, jumlah nadzir yang berbentuk lembaga saat ini masih sedikit bila dibanding dengan nadzir individu. Padahal, riset BWI menyebutkan ada sekitar 300.000 titik lokasi tanah wakaf yang perlu digarap menjadi aset produktif.
"Kita perlu lembaga nadzir yang bagus, profesional, dan memiliki program berkelanjutan dalam mengelola aset wakaf. Sehingga, aset tersebut memiliki nilai ekonomi karena turut berkontribusi pada pembangunan infrastruktur suatu daerah," kata Irfan.
Hal ini juga diupayakan melalui standar "Waqf Core Principles" yang diluncurkan dalam rangkaian Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional (IMF) Bank Dunia di Nusa Dua, Bali, pada Oktober 2018. Dalam aturan tersebut, diatur komponen regulasi serta pihak yang berotoritas dalam tata kelola dana wakaf.
Dalam diskusi, Direktur Bidang Promosi dan Hubungan Eksternal Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS), Afdhal Aliasar, turut menyampaikan optimismenya terhadap potensi wakaf. Pihaknya memproyeksikan dana wakaf tunai berpotensi tumbuh hingga Rp 5 triliun hingga tahun 2024.
"Untuk mendukung potensi itu, KNKS saat ini masih melakukan kajian regulasi mendalam terkait berbagai kebijakan yang mendukung sektor keuangan syariah," tutur Afdhal.
Sinergitas
Irfan menilai, sinergitas antar lembaga juga perlu dibina dalam membangun ekosistem wakaf. Saat ini, menurut dia, ada dualisme otoritas antara Kementerian Agama dengan BWI sebagai pengawas kegiatan wakaf, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
"Adanya kedua pihak otoritas ini mestinya dapat bersinergi lebih baik. Dalam arti, pihak kementerian terkait dapat mengatur dari segi pengawasan, sementara BWI lebih aktif dalam kegiatan yang bersifat operasional," kata Irfan.