JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan teknis pemerintah dinilai sudah berada di jalur yang tepat untuk mencegah defisit neraca perdagangan semakin dalam. Akan tetapi, pemerintah perlu mekanisme untuk memantau persiapan implementasi sejumlah kebijakan tersebut secara lebih rinci agar dapat langsung dievaluasi.
Apresiasi terhadap kebijakan pemerintah disampaikan Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta Widjaja Kamdani. ”Upaya pemerintah dalam menekan impor dan mendongkrak ekspor sudah tepat. Dampaknya memang tidak dapat dilihat secara langsung,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (18/12/2018).
Untuk mengoptimalkan dampak itu, Shinta berharap, pemerintah tetap membuat kebijakan yang mendukung iklim usaha dan industri. ”Regulasi dan peraturan yang disusun jangan sampai menyulitkan pelaku usaha dan industri,” ujarnya.
Saat ini, pelaku usaha dan industri tengah menarik investasi untuk membangun industri hulu. Tujuannya menciptakan industri substitusi bahan baku.
Menurut Shinta, kebijakan pemerintah itu dapat dilihat dampaknya terhadap neraca perdagangan, paling cepat dalam waktu lima tahun. Dia berpendapat, pemerintah perlu meninjau tiap program yang menjadi bentuk implementasi kebijakan yang sudah tepat itu.
Senada dengan Shinta, ekonom Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro, mengatakan, pemerintah perlu segera membentuk mekanisme peninjauan ulang terhadap tahap-tahap penerapan teknis kebijakan yang sudah ada. ”Implementasi itu perlu diulas dampaknya terhadap perekonomian, pertambahan jumlah investor, dan pencapaiannya dalam jangka waktu tertentu. Hasil ulasan itu sebaiknya dibahas dengan pelaku usaha dan investor agar dapat langsung dievaluasi dan dibenahi. Peran peninjauannya terletak di tiap kementerian atau lembaga sesuai dengan tugas, pokok, dan fungsinya masing-masing,” tuturnya saat dihubungi, Selasa.
Defisit neraca perdagangan pada November 2018 mencerminkan masalah struktural pada ekspor nasional. Jika tidak diantisipasi, Satria memprediksi defisit transaksi berjalan pada triwulan IV-2018 dapat berkisar 3,1-3,3 persen produk domestik bruto (PDB).
Daya saing
Dari sektor makanan-minuman, peningkatan daya saing produk menjadi fokus untuk meningkatkan ekspor. ”Produk Indonesia harus kuat dari sisi kualitas, rantai nilai, dan harga yang menjadi syarat dasar dalam bersaing di tingkat global,” kata Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Publik dan Hubungan Antarlembaga Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Rachmat Hidayat saat ditemui di Jakarta, Selasa (18/12/2018).
Peningkatan kualitas, menurut Rachmat, bergantung pada teknologi yang dimanfaatkan dalam proses pengolahan serta kualitas dan kemampuan sumber daya manusia. Dari segi harga produk dan rantai pasok, harga bahan baku dan kelancaran logistik menjadi penentu.
Menurut data Badan Pusat Statistik, nilai ekspor makanan-minuman (tanpa minyak sawit) pada 2017 tumbuh 10,35 persen dari tahun sebelumnya menjadi 11,51 miliar dollar AS. Adapun neraca dagang sektor ini tumbuh sekitar 111 persen menjadi 1,63 miliar dollar AS. (JUD)