JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan pemangku kepentingan terkait tetap perlu menjaga keseimbangan devisa di pasar valuta asing di tengah penguatan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Keberlanjutan program untuk mengurangi ketergantungan pada devisa dan lindung nilai perlu terus dijaga.
Permintaan dan penawaran devisa yang seimbang di pasar valas dapat menjaga nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, nilai tukar pada Jumat (30/11/2018) sebesar Rp 14.339 per dollar AS. Pada periode 3 Oktober-2 November 2018, nilai tukar rupiah berkisar Rp 15.000-an per dollar AS. Setelahnya, rupiah berangsur-angsur menguat. Pelemahan rupiah terdalam sejak awal tahun ini pada 11 Oktober, yakni Rp 15.253 per dollar AS.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Nanang Hendarsah, Minggu (2/12/2018), mengatakan, kendati rupiah tengah menguat, pelaku usaha yang berpotensi mengalami dampak risiko nilai tukar dan suku bunga tetap perlu berhati-hati dan menerapkan mitigasi risiko. BI telah menyediakan berbagai instrumen lindung nilai yang dapat dimanfaatkan perbankan domestik. ”Dengan melakukan lindung nilai, pelaku usaha tidak akan perlu merisaukan fluktuasi nilai tukar sehingga bisa lebih fokus ke pengembangan usaha,” katanya.
Selain itu, lanjut Nanang, langkah-langkah pemerintah mengurangi ketergantungan terhadap devisa tetap diperlukan. Tujuannya menjaga keseimbangan permintaan dan penawaran devisa di pasar valas untuk mendukung stabilitas nilai tukar rupiah.
Selama rupiah melemah, kebutuhan valas sangat tinggi, antara lain untuk pembiayaan impor, pembayaran utang luar negeri, dan pembangunan infrastruktur. Akibatnya, likuiditas valas mengetat.
Rasio kredit terhadap simpanan (LDR) valas mengetat, dari 73 persen pada awal tahun ini menjadi 83 persen pada September 2018. Pada September, kredit valas tumbuh 22,2 persen, sedangkan dana pihak ketiga valas tumbuh 11,5 persen.
Suku bunga
Upaya perbankan memperoleh pasokan valas terlihat dari penyesuaian suku bunga tabungan dan giro valas yang lebih cepat daripada yang berdenominasi rupiah.
Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, mengatakan, pertumbuhan kredit valas yang lebih tinggi dari rupiah dipengaruhi depresiasi rupiah. ”Jika dilihat secara sektoral, khususnya sektor-sektor yang memerlukan pembiayaan dalam denominasi valas, kredit valas juga cenderung meningkat,” ujarnya.
Josua mencontohkan, pertumbuhan kredit sektor pertambangan secara tahunan sebesar 25 persen dan secara tahun kalender 21 persen. Peningkatan permintaan kredit valas pada sektor itu dipengaruhi aktivitas pertambangan yang membaik tahun ini.
Dalam upaya meningkatkan pendapatan devisa, Indonesia dan Kanada bekerja sama dalam Proyek Perdagangan dan Pendampingan Sektor Swasta (TPSA) selama 5 tahun dengan investasi 12 juta dollar Kanada.
Program itu menyasar para pengusaha kopi gayo di Takengon, Aceh. ”Kami telah mendatangkan pembeli dari Kanada pada November 2018. Telah ada kontrak 2,6 juta dollar AS untuk pembelian periode November 2018-Juni 2019,” kata Direktur Kerja Sama Pengembangan Ekspor Direktorat Pengembangan Ekspor Kementerian Perdagangan Marolop Nainggolan. (HEN)