JAKARTA, KOMPAS – Dua bendungan telah selesai konstruksinya, yakni Bendungan Mila di Nusa Tenggara Barat dan Bendungan Logung di Jawa Tengah. Kedua bendungan itu diharapkan semakin memperkuat ketahanan pangan melalui jaminan pengairan.
“Kedua bendungan itu sudah siap pengisian airnya pada akhir November. Untuk pengisiannya memerlukan dua kali musim hujan agar bendungan penuh,” kata Kepala Pusat Bendungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Ni Made Sumiarsih, Jumat (23/11/2018), di Jakarta.
Rampungnya Bendungan Mila menyusul Bendungan Tanju yang sudah diresmikan pengoperasiannya pertengahan tahun ini di NTB. Kapasitas tampung Bendungan Mila sebesar 6,57 juta meter kubik dengan luas genangan 84,52 hektar. Bendungan yang mulai dibangun pada 2015 tersebut dirancang sebagai bendungan multifungsi untuk memasok air di Daerah Irigasi (DI) Rababaka seluas 1.689 hektar di Kecamatan Woja.
Bendungan Mila dan Tanju merupakan bagian dari Sistem Irigasi Rababaka Kompleks (SIRK). Air dari Sungai Rababaka sebesar 3,2 meter kubik per detik dialirkan melalui saluran interbasin ke Sungai Mila untuk mengisi tampungan Bendungan Mila sebesar 1,3 meter kubik per detik dan sebagian dialirkan ke Sungai Tanju sebesar 1,9 meter kubik per detik yang kemudian ditampung di Bendungan Tanju.
Sementara, Bendungan Logung memiliki daya tampung sekitar 20,15 juta meter kubik. Bendungan yang juga mulai dibangun pada 2015 tersebut direncanakan dapat mengairi lahan pertanian dari semula 2.200 hektar menjadi 5.355 hektar.
Menurut Sumiarsih, bendungan-bendungan yang baru tersebut akan didukung dengan jaringan irigasi. Dengan demikian, air dari bendungan dapat sampai ke lahan pertanian. Namun, kemajuan pembangunan setiap jaringan irigasi berbeda-beda. Seperti saat ini, pemerintah tengah membangun jaringan irigasi di hilir Bendungan Logung.
Tangkapan air
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa ketika dihubungi dari Jakarta, berpandangan, fungsi bendungan untuk memasok air di lahan pertanian mesti didukung daerah tangkapan air di hulu. “Ada kekhawatiran setelah bendungan dibangun, nantinya tidak berfungsi maksimal karena kerusakan di hulu. Ini kan berarti tergantung hulunya,” kata Andreas.
Apalagi, lanjut Andreas, sebagian besar bendungan dibangun di Pulau Jawa yang sebenarnya luas daerah tangkapan airnya semakin terbatas karena alih fungsi lahan. Selain membuat kapasitas bendungan menjadi tidak maksimal, daerah hulu yang gundul justru akan membawa sedimentasi ke bendungan. Akibatnya, usia bendungan akan menjadi lebih pendek dari yang direncanakan.
Menurut Andreas, pembangunan infrastruktur untuk mendukung ketahanan pangan harus didukung sinergi dan kerja sama yang kuat antar kementerian atau lembaga yang berwenang, yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Pertanian. Sinergi inilah yang dinilai masih belum terjadi.
Sementara, masalah infrastruktur untuk mendukung ketahanan pangan juga memerlukan jaringan irigasi yang andal. Pasokan air melalui irigasi yang termanfaatkan dengan baik hanya 20 persen atau sangat tidak efisien. Di sisi lain, jaringan irigasi yang rusak terutama irigasi sekunder dan tersier di atas 50 persen.