JAKARTA, KOMPAS – Skema ketersediaan layanan atau availability payment untuk proyek infrastruktur pemerintah disambut positif swasta. Namun demikian, pembagian atas risiko mesti jelas dan terukur.
“Skema availability payment ini bagus. Tentu bagi swasta yang penting adalah return atau keuntungannya menarik,” kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Kontraktor Indonesia Joseph Pangalila, ketika dihubungi dari Jakarta, Jumat (16/11/2019).
Pada tahun anggaran 2019, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk pertama kalinya akan menerapkan pembiayaan infrastruktur dengan melibatkan swasta berskema ketersediaan layanan. Anggarannya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2019 sebesar Rp 5,1 triliun.
Skema tersebut dipilih agar masyarakat dapat segera menikmati infrastruktur secara lebih cepat sehingga diharapkan mendorong ekonomi setempat. Pemerintah pun tidak harus menganggarkan dana sekaligus dalam jumlah besar. Untuk proyek pemerintah, skema ketersediaan layanan baru diterapkan di proyek Palapa Ring.
Skema baru itu akan diterapkan untuk preservasi Jalan Lintas Timur di Riau, Jalan lintas Timur di Sumatera Selatan, pembangunan dan preservasi jalan baru Trans- Papua di ruas Wamena-Mumugu. Selain itu, skema ketersediaan layanan juga akan diterapkan pada proyek penggantian jembatan di Lintas Utara Pulau Jawa dan jembatan di Lintas Timur Lampung. Untuk preservasi jalan di Sumatera Selatan saat ini telah masuk ke tahap prakualifikasi lelang.
Sementara penggantian jembatan dengan skema ketersediaan layanan itu untuk mengganti jembatan lama bertipe Callender Hamilton yang kebanyakan dibangun pada 1970-an. Pelaksanaan pembangunan dilakukan selama 3 tahun dan pembayaran dari pemerintah kepada badan usaha dilakukan mulai tahun keempat hingga tahun ke-15.
Menurut Joseph, pihak swasta akan tertarik untuk masuk ke skema ketersediaan layanan jika keuntungan jelas dan risikonya terdistribusi dengan baik. Sebab, hal itu diperlukan untuk mengajukan pinjaman ke perbankan. Selain itu, risiko pembebasan lahan jika diperlukan mesti menjadi tanggung jawab pemerintah.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian PUPR Sugiyartanto mengatakan, proyek-proyek infrastruktur tersebut kini masih dalam proses pengusulan penjaminan dari PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero). “PII juga akan menghitung sisi ekonominya. Sementara kami selain menghitung sisi ekonominya juga menghitung sisi teknisnya. Jadi versi perhitungan kami belum tentu sama dengan versi PT PII,” kata Sugiyartanto.
Menurut Sugiyartanto, perhitungan secara rinci dan hati-hati mesti dilakukan. Sebab, meskipun berskema ketersediaan layanan, masing-masing proyek berbeda pembiayaannya. Semisal, untuk preservasi jalan saja, maka yang dihitung adalah biaya perawatan beserta operasi. Sementara untuk pembangunan jalan baru, maka mesti diperhitungkan soal desain dan biaya pembangunannya.