JAKARTA, KOMPAS -- Revisi dua undang-undang atau UU sektor energi dan sumber daya mineral dipastikan molor dan tidak rampung tahun ini. Kesibukan penyelenggaraan Pemilihan Umum Legislatif 2019 menjadi salah satu penyebab tertundanya penyelesaian revisi.
Kedua UU itu adalah UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) dan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. UU Migas sudah masuk program legislasi nasional sejak 2010. Adapun UU Pertambangan Mineral dan Batubara dimasukkan dalam program legislasi nasional sejak 2015. Artinya, tak sampai 10 tahun sejak kedua UU itu disahkan, lantas diusulkan untuk direvisi.
Anggota Komisi VII DPR dari Partai Gerindra Ramson Siagian mengatakan, sulit sekali untuk menuntaskan revisi kedua UU itu. Revisi tidak akan selesai tahun ini. Kemungkinan besar revisi akan dituntaskan setelah hajatan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilu Legislatif rampung tahun depan.
"Tahun 2018 jelas tidak akan selesai. Pembahasan revisi masih dalam tahap penyisiran oleh Badan Legislasi," ujar Ramson saat dihubungi, Minggu (11/11/2018), di Jakarta.
Menurut Ramson, belum ada pembicaraan pembahasan antara Komisi VII DPR dengan pemerintah. Selain itu, kata dia, semua sedang berfokus menghadapi Pemilu. Semua pimpinan dan anggota Komisi VII DPR ingin terpilih kembali menjadi anggota DPR periode 2019-2024.
Secara terpisah, pengajar pada Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, lambannya revisi UU Migas akan terus menimbulkan ketidakpastian investasi di sektor hulu migas. Hal itu dapat memicu keraguan investor. Padahal, pemerintah sedang berusaha keras menarik investasi sebanyak mungkin ke dalam negeri.
"Selain itu, ketidaksempurnaan dalam UU Migas tak kunjung dibenahi, yaitu pola hubungan bisnis dengan bisnis yang mestinya diterapkan dalam kontrak hulu migas," kata Pri Agung.
Menurut Pri Agung, skema kontrak hulu migas di Indonesia saat ini antara Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) yang mewakili pemerintah Indonesia dengan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), tidak mencerminkan skema bisnis dengan bisnis. Hal itu berpotensi memunculkan kesalahan derivatif berupa ketidakpastian perpajakan maupun perizinan yang tidak dapat diselesaikan oleh peraturan yang ada di bawah UU Migas.
Terkait revisi UU Pertambangan Mineral dan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (Iress) Marwan Batubara mengusulkan agar kelanjutan revisi lebih baik menunggu hasil pemilu. Ia khawatir revisi yang dipercepat menjelang pemilu legislatif membawa agenda tersembunyi untuk kepentingan kelompok tertentu.
"Untuk mencegah potensi terjadinya praktik perburuan rente dalam pembahasan revisi, sebaiknya dilanjutkan lagi usai pelaksanaan Pemilu legislatif," ucap Marwan.
Beberapa hal yang mendapat sorotan pada draf revisi UU Nomor 4/2009 adalah definisi pengolahan dan pemurnian, peran pemerintah daerah dengan pusat, serta status kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B). Selain itu, revisi yang dilakukan saat usia undang-undang belum genap 10 tahun juga dipertanyakan.