JAKARTA, KOMPAS — Penyelenggaraan Konferensi Kelautan, Our Ocean Conference, yang ke-5 di Bali pada 29-30 Oktober 2018 menjadi momentum untuk menagih komitmen dunia. Komitmen itu dalam upaya melindungi dan memberdayakan nelayan yang selama ini masih termarjinalkan. Sebab, pengelolaan laut mestinya menempatkan nelayan sebagai aktor, bukan sekadar penonton.
Hal itu disampaikan sejumlah pihak secara terpisah di Jakarta, Jumat (26/10/2018). Indonesia sebagai tuan rumah Our Ocean Conference diharapkan dapat mendorong usaha perikanan semakin transparan dan menyejahterakan nelayan.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengemukakan, selama ini konservasi laut dan tata kelola perikanan masih menempatkan nelayan dalam posisi marjinal. Hak hidup dan usaha nelayan terdesak akibat penetapan kawasan konservasi laut dan wisata bahari yang mendesak ruang gerak nelayan.
”Yang terjadi, masyarakat nelayan justru dikeluarkan dari hak usaha di kawasan konservasi. Indonesia perlu mendorong isu konservasi laut dengan mengedepankan kearifan lokal masyarakat, khususnya nelayan,” ujarnya.
Halim menambahkan, perikanan yang berkelanjutan perlu dibuktikan melalui komitmen negara-negara di dunia untuk bekerja sama memberantas perikanan ilegal dan mempraktikkan tata kelola perikanan berkelanjutan dari hulu ke hilir. Perikanan yang berkelanjutan perlu fokus, tidak hanya menjaga sumber daya ikan secara lestari, tetapi juga memperkuat perekonomian nelayan dan masyarakat pesisir.
Tindak lanjut
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Mohammad Abdi Suhufan mengemukakan, keberhasilan Indonesia menekan pemberantasan perikanan ilegal perlu ditindaklanjuti dengan upaya membangun industri perikanan nasional yang tangguh.
Presiden telah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2016 tentang Percepatan Industri Perikanan Nasional. Kebijakan yang sudah ditandatangani dua tahun lalu itu perlu dikonkretkan dengan pelayanan perizinan yang transparan di pusat dan daerah, akses pembiayaan, dan kemudahan investasi.
”Tantangannya pada birokrasi dan pelaku usaha perikanan untuk mengambil momentum ini. Pembenahan birokrasi harus simultan dilakukan dengan cara mereformasi tata kelola perikanan. Sebab, hambatan investasi kita selama ini di birokrasi,” kata Abdi.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, saat ini jumlah kapal nelayan mencapai 620.000 kapal. Sekitar 90 persen di antaranya merupakan kapal berukuran kurang dari 30 gros ton.