Melatih Para Santri Menjadi Wirausaha
Memiliki keterampilan tambahan selain pendidikan di bangku sekolah tentu sangat menguntungkan. Apalagi, boleh jadi, keterampilan itu kelak akan menjadi bekal ketika para siswa beranjak dewasa dan melanjutkan kehidupan seusai sekolah.
Kemitraan antara sekolah menengah kejuruan (SMK) dan korporasi kini makin sering terdengar. Para pengusaha memberikan pelatihan atau kesempatan bagi para siswa SMK untuk magang di perusahaan-perusahaan.
Namun, ada kelompok siswa lain yang juga memerlukan tambahan keterampilan, yaitu para santri. Para santri ini kebetulan lebih jarang tersentuh oleh korporasi atau lembaga lainnya.
Para santri memang lebih banyak mempelajari ilmu keagamaan dibandingkan pelajar SMK. Persoalannya, hanya sebagian dari siswa pesantren yang melanjutkan perjalanan hidup dengan menjadi dai, guru agama, atau pemuka agama.
Beberapa siswa lainnya melanjutkan ke perguruan tinggi. Lainnya, setamat dari pesantren mencari pekerjaan dan terjun ke masyarakat dengan mengambil berbagai peran.
Ilmu agama mereka, dengan demikian, perlu ditambah dengan keterampilan lain yang dapat menopang kehidupan selanjutnya. Sebut saja keterampilan membuat kue, berkebun, beternak, dan mekanik.
PT Indofood Sukses Makmur Tbk, melalui Divisi Bogasari, produsen terigu telah menjalin hubungan baik dengan pesantren sejak 2006. Bogasari di antaranya memberikan pelatihan membuat roti pada Pondok Pesantren Al Khairat di Palu. Dilanjutkan dengan pelatihan pada Ponpes As’syafyiyah Majalengka.
”Mereka, anak-anak pesantren, pun harus diberikan kesempatan yang sama,” ujar Kepala Divisi Bogasari Fransiscus Welirang di Jakarta, pekan lalu.
Apalagi, menjelang terjadinya bonus demografi, ketika banyak angkatan kerja mendominasi jumlah penduduk, tentu persaingan mendapatkan pekerjaan semakin ketat.
Ketika tidak semua orang mendapatkan pekerjaan formal, mereka yang tidak banyak memiliki keterampilan bisa jadi akan sulit membuka usaha.
”Karena saya paham pada bidang boga, ya kami bekerja sama dengan pesantren untuk memberikan pelatihan di bidang boga, yaitu membuat roti, mi, dan kue,” kata Fransiscus, yang juga menjabat sebagai Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk.
Langkah Bogasari sejalan dengan program Majelis Ulama Indonesia yang pada tahun 2016 meluncurkan Program Pemberdayaan Ekonomi Umat. Program ini juga menjadikan ponpes sebagai pusat pemberdayaan ekonomi.
Hingga saat ini sudah ada 19 pondok pesantren yang mendapatkan kesempatan berpartisipasi dalam program Santrifoodpreneur dari Bogasari.
Pelatihan diberikan di Bogasari Baking Center (BBC) di Pabrik Bogasari Tanjung Priok. Pondok pesantren tersebut tidak hanya berasal dari Jakarta, tetapi juga dari berbagai kota di Indonesia.
Bogasari juga mengoptimalkan 19 cabang BBC di 16 kota untuk melatih para pengusaha yang membeli produknya ataupun untuk umum. Keberadaan BBC ini pun sangat membantu program Santrifoodpreneur. Masing-masing pesantren dibimbing staf BBC yang terdekat dengan pesantren tersebut.
Setiap pesantren diwakili 3-5 santri. Mereka ini juga akan menjadi pelatih di pesantren masing-masing sehingga dapat menularkan ilmunya kepada rekan lainnya.
”Jumlah peserta tergantung dari kesiapan pesantren itu sendiri, santri yang dikirim juga harus memenuhi beberapa kriteria, seperti harus memiliki jiwa wirausaha, siap mengikuti pelatihan selama 5 hari di BBC, memiliki sikap tanggung jawab, dan punya jiwa mengajar,” kata Rudianto Pangaribuan, Public Relation Bogasari.
Manfaat besar
Kiai Mas Muhlisin Alahudin, pengasuh ponpes Ash Shiddiqi di Desa Curahlele, Balung, Jember, mengatakan, pelatihan tersebut sangat bermanfaat bagi para santrinya. ”Santri-santri, anak-anak setingkat SMP, sudah pintar membuat kue,” ujarnya.
Bogasari pun berbagi 12 jenis resep kue dan roti serta beberapa resep mi.
Dia menjelaskan, selain mendapat pelatihan Mei lalu, staf BBC juga terus memberikan pendampingan. ”Mereka melihat apakah ada kegagalan, berbagi juga tentang bagaimana cara pemasarannya, bagaimana membuat merek dan lainnya. Kami selalu didampingi,” kata Kiai Mas Muhlisin Alahudin.
Beberapa santri yang tidak mampu dan ikut dalam tim pembuatan kue ini menjadi sangat mandiri secara keuangan. Setelah dapat memproduksi dan menjual roti, para santri lainnya tidak lagi meminta uang saku.
”Kami sudah mendapatkan pesanan kue kotak hingga 500-600 kotak untuk keperluan rapat. Roti produksi kami sudah diberi merek, Ash Shiddiqi Bakery,” ujar Kiai Mas Muhlisin Alahudin.
Dalam waktu singkat, roti produksi Ash Shiddiqi Bakery telah merambah melintasi batas Kecamatan Balung. Bahkan, kini dibutuhkan oven dan mikser yang berkapasitas lebih besar karena pesanan terus meningkat.
Rudi menjelaskan, dalam program Santrifoodpreneur tersebut, Bogasari juga memberikan hibah berupa seperangkat peralatan memasak. ”Hibah peralatan ini tergantung jenis usaha yang dibuka peserta. Peralatan tersebut antara lain mikser, oven, kompor gas, loyang, dan peralatan lain. Nilainya sekitar Rp 40 juta-Rp 45 juta. Hal yang penting adalah bagaimana mereka dapat mengembangkan usaha tersebut di tengah rutinitas pendidikan yang mereka ikuti,” ujar Rudi.
Keterampilan apa pun yang ditekuni tentu akan membawa banyak manfaat. Bekal tambahan yang dimiliki para santri akan membuat mereka lebih percaya diri ketika sudah di luar pondok untuk melanjutkan kehidupannya.