SURABAYA, KOMPAS — Dengan 6.672 perusahaan besar dan 12,1 juta usaha mikro, kecil, dan menengah, Jawa Timur menjadi salah satu soko guru perekonomian nasional. Produk domestik regional bruto sebesar Rp 2.019 triliun berkontribusi 17,43 persen terhadap kekuatan ekonomi nasional.
Namun, keunggulan perekonomian Jatim itu ternyata linier dengan praktik koruptif dalam bisnis. Kejahatan luar biasa ini menggurita dan melibatkan bukan sekadar pengusaha, melainkan juga kalangan penguasa (bupati, wali kota), aparatur negara, bahkan penegak hukum. Indonesia Corruption Watch mencatat, tahun lalu, Jatim adalah provinsi dengan kasus korupsi tertinggi dengan 68 kasus.
Tahun ini, amat mungkin prestasi negatif itu berulang dengan salah satu yang fenomenal ialah keterlibatan bekas Wali Kota Malang dan penahanan 41 orang dari 45 anggota DPRD Kota Malang dalam kasus korupsi. Latar belakang pejabat eksekutif dan legislatif terutama dari kalangan pengusaha. Kasus lainnya, pelantikan petahana Bupati Tulungagung Syahri Mulyo yang dilanjutkan dengan penonaktifan karena statusnya sebagai tahanan kasus suap proyek prasarana oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Menyadari fakta-fakta itu, kalangan pengusaha merasa perlu, bahkan wajib, menghindari dan menolak praktik koruptif dalam berbisnis. Apalagi, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana Korupsi salah satunya memperkenankan penegak hukum (KPK) menjerat perusahaan yang terlibat korupsi.
”Hukumannya jika terbukti bisa sampai pencabutan izin usaha,” ujar Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK Giri Suprapdiono di Surabaya, Jatim.
Menurut Giri, saat ini KPK memidanakan empat perusahaan swasta dan satu badan usaha milik negara (BUMN) karena terlibat kasus korupsi. Jika terbukti, hukumannya bisa dijatuhkan terhadap pemimpin atau pimpinan sekaligus perusahaan.
Dalam konteks itu, menurut Ketua Komite Advokasi Daerah Antikorupsi Jatim Reswanda, perusahaan harus membangun dan melaksanakan sistem kepatuhan demi menghindari risiko praktif koruptif.
Direktur Eksekutif Indonesia Business Links Mohammad Fahmi mendorong para pengusaha menjalankan praktik bisnis berintegritas, misalnya dengan penerapan manajemen antisuap dan antipemerasan.
Government & Media Relations Manager ExxonMobil Cepu Ltd Katri Krisnati mencontohkan, dalam pengurusan izin mendirikan bangunan, perusahaan didorong tidak memberikan sesuatu kepada pemerintah yang berwenang demi mempercepat proses.
”Ketika ditekan, kami harus tegas menolak dan berkolaborasi dengan KPK dan penegak hukum untuk melaporkan praktik itu,” katanya.
Menurut Giri, suatu tekanan berupa janji percepatan proses perizinan sudah merupakan praktik koruptif dalam sudut pandang pemerasan. Jika pengusaha menuruti dengan memberi sesuatu yang tidak semestinya atau gratifikasi, hal itu juga menjadi praktik koruptif.
”Dalam konteks suap, pemberi dan penerima bisa dijerat. Dalam konteks pemerasan, pelakunya yang bisa diperkarakan,” ujarnya.