JAKARTA, KOMPAS--Risiko pelambatan pertumbuhan ekonomi tetap ada, kendati fundamen ekonomi Indonesia cukup kuat. Tantangan utama bersumber dari sektor keuangan yang masih dangkal serta tingkat ekspor dan penanaman modal asing yang relatif rendah.
“Kondisi itu menyebabkan tekanan arus modal keluar terus berlanjut. Pemerintah harus berkomitmen menjaga stabilitas dan menjadikan risiko sebagai stimulus pertumbuhan ketimbang krisis keuangan,” kata Kepala Ekonom Bank Dunia di Indonesia Frederico Gil Sander di Jakarta, Kamis (20/9/2018).
Bank Dunia, dalam laporan perekonomian triwulanan memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2018 sebesar 5,2 persen dan pada 2019 sebesar 5,3 persen. Pertumbuhan ekonomi didorong peningkatan konsumsi domestik sehingga bersifat jangka pendek. Konsumsi ditopang stabilitas laju inflasi, pasar tenaga kerja yang tinggi, dan penurunan suku bunga pinjaman.
Kendati perekonomian tumbuh, lanjut Frederico, ketahanan terhadap gejolak ekonomi global relatif rendah. Defisit transaksi berjalan diperkirakan 2,4 persen produk domestik bruto (PDB) pada akhir 2018.
Kebijakan pemerintah menaikkan pajak impor barang konsumsi dan menunda pembangunan infrastruktur dinilai sulit untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan dalam jangka pendek. Pemerintah justru harus mewaspadai dampak negatif kebijakan itu terhadap perluasan pasar ekspor dan kesenjangan infrastruktur.
Tidak menghambat
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, peningkatan pajak impor tidak menghambat pertumbuhan ekonomi. Sebab, aturan itu hanya berlaku untuk barang konsumsi, bukan barang modal atau bahan baku, sehingga produksi industri tidak terganggu.
Menurut Frederico, risiko krisis keuangan di Indonesia kecil kendati gejolak eksternal cukup besar. Fundamen ekonomi Indonesia saat ini lebih kuat ketimbang saat krisis Asia 1998 dan guncangan ekonomi di 2013.
Sementara itu, saham dari emiten yang baru terdaftar di Bursa Efek Indonesia menarik bagi investor akibat lonjakan harga yang signifikan. Namun, investor perlu menghindari optimisme berlebihan dengan tetap memperhatikan kinerja perusahaan terdaftar.
“Di tengah gejolak pasar modal, naluri pelaku pasar cenderung mencari saham-saham yang masih berpotensi untuk naik,” kata analis senior CSA Research Institute, Reza Priyambada.
Kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan ditutup pada posisi 5.931,266 atau naik 0,98 persen. (KRN/DIM)