JAKARTA, KOMPAS--Kementerian Keuangan dan Badan Anggaran DPR sepakat menambah subsidi energi dalam Rancangan APBN 2019 menjadi Rp 157,79 triliun. Penambahan subsidi membuka tantangan jangka panjang berupa perbaikan neraca perdagangan dan penyaluran subsidi yang tepat sasaran.
Kenaikan subsidi dipengaruhi perubahan asumsi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dalam RAPBN 2019, dari Rp 14.400 per dollar AS menjadi Rp 14.500 per dollar AS. Berdasarkan asumsi nilai tukar sebelumnya yang sebesar Rp 14.400 per dollar AS, anggaran subsidi energi Rp 156,53 triliun.
Subsidi energi terdiri dari Bahan Bakar Minyak (BBM), elpiji 3 kilogram, dan listrik.
Perubahan subsidi energi disepakati dalam rapat Panitia Kerja tentang Pendapatan dan Belanja RAPBN 2019 di Jakarta, Rabu (19/9/2018). Kesepakatan di tingkat panitia kerja meliputi nilai tukar Rp 14.500 per dollar AS, pengembalian biaya operasi atau cost recovery 10,22 miliar dollar AS, dan harga rata-rata minyak mentah 70 dollar AS per barrel. Panitia kerja terdiri dari unsur Badan Anggaran DPR dan Kementerian Keuangan.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, realisasi subsidi BBM dan elpiji 3 kg sangat dipengaruhi perkembangan asumsi ekonomi makro -terutama nilai tukar rupiah dan harga minyak mentah-, volume BBM dan gas, serta perubahan parameter kebijakan.
Sampai dengan Agustus 2018, realisasi subisidi BBM dan gas Rp 46,3 triliun, termasuk pembayaran atas kewajiban kurang bayar pemerintah sebesar Rp 12,3 triliun. Realisasi subsidi diperkirakan membengkak hingga Rp 103,5 triliun dalam proyeksi APBN 2018. Perkiraan itu sudah memperhitungkan kenaikan subsidi solar dari Rp 500 per liter menjadi Rp 2.000 per liter.
Selain asumsi nilai tukar dan harga minyak mentah, kenaikan subsidi juga dipicu peningkatan konsumsi gas 3 kg. Pada 2017, realisasi konsumsi gas mencapai 6,3 juta ton, lebih tinggi dari kuota APBN-P 2017 yang sebanyak 6,2 juta ton.
“Ini tidak terlepas dari tata cara penyaluran subsidi yang belum bersifat tertutup. Padahal, wacana mekanisme subsidi tertutup muncul sejak 2-3 tahun lalu,” ujar Suahasil.
Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto menambahkan, kenaikan konsumsi elpiji tabung 3 kg pada 2018 akibat permintaan yang tinggi dan lanjutan program peralihan dari minyak tanah ke elpiji. Kenaikan subsidi juga mengantisipasi peningkatan konsumsi minyak tanah di Indonesia bagian timur.
Perbaikan tata kelola
Secara terpisah, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Ari Kuncoro mengatakan, kenaikan subsidi tanpa perbaikan tata kelola dalam jangka panjang tidak akan berdampak apa pun terhadap perekonomian Indonesia. Alokasi subsidi bertambah karena asumsi nilai tukar berubah yang memengaruhi pendapatan dan belanja negara.
“Kompensasi derajat nol. Ibaratnya, hanya mengubah dari kantong kiri ke kantong kanan,” kata Ari.
Keputusan pemerintah meningkatkan subsidi untuk memperoleh penerimaan dollar AS lebih besar. Penetapan anggaran seharusnya mengikuti mekanisme pasar sebagai akibat kelangkaan. Namun, kondisi saat ini bukan karena kelangkaan, melainkan goncangan terhadap nilai tukar rupiah akibat tekanan eksternal. Akibatnya, anggaran subsidi bertambah untuk menciptakan kesimbangan.
Menurut Ari, tata kelola subsidi jangka panjang harus direalisasikan. Pemerintah mesti menyusun strategi menekan impor minyak dan gas (migas) tanpa menurunkan anggaran subsidi. Ia mencontohkan, program pembagian kompor listrik atau penggunaan kendaraan listrik untuk mengurangi impor minyak. Penyaluran subsidi harus tepat sasaran agar menopang pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Impor minyak menjadi penyumbang defisit transaksi berjalan. Setidaknya, sejak 2016, neraca minyak selalu defisit minimal 2 miliar dollar AS. Pada triwulan II-2018, neraca minyak defisit 4,4 miliar dollar AS.
Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies Yose Rizal Damuri menilai, penyesuaian harga BBM dapat menurunkan impor minyak. Selama ini, harga jual BBM domestik cenderung tidak berubah, terutama untuk BBM subsidi. Padahal, harga BBM subsidi seharusnya berubah dalam jangka waktu tertentu. Penyesuaian harga BBM bisa memberikan sinyal positif di pasar keuangan.
“Sebaiknya seperti itu, walaupun berat untuk pemerintah di tahun 2019,” katanya. (KRN)